Header


Kamis, 02 Desember 2010

SEULUSOH TEMA YANG TERBELAH Oleh Damiri Mahmud

SEULUSOH TEMA YANG TERBELAH
Oleh  Damiri Mahmud 








Novel Seulusoh karya D. Kemalawati mencoba melukiskan betapa dahsyatnya tragedi tsunami melanda Aceh dengan latar peristiwa yang bermula dari kehidupan Meulu dan keluarganya di desa pantai Lampulo.
Gadis kecil Meulu dibesarkan oleh ibunya Meurahna, yang ditinggal pergi oleh suaminya Cut Gam, ketika suatu hari ia melaut lalu hilang tak kembali tanpa kabar berita. Di rumah ada juga Nenek yang sangat menyayangi Meulu dan selalu mendongeng untuknya dan memberikan petuah-petuah. Selalu pula datang Nek Pi’ah, seorang dukun bersalin yang pintar tentang berbagai mantera di antara mantera seulusoh, gunanya untuk menolong perempuan yang akan bersalin.
Nek Pi’ah juga punya firasat yang tajam dan faham akan alamat dan pertanda alam. Meulu sangat tertarik kepada cerita-cerita Nek Pi’ah dengan Nenek dan ia selalu pura-pura tertidur di pangkuan Nenek untuk mendengarkannya. Ketika berangkat remaja ia dibawa-bawa Nek Pi’ah menolong perempuan bersalin. Hingga akhirnya Nek Pi’ah menurunkan ilmu manteranya kepada Meulu termasuk Seulusoh.
Dari cerita-cerita Nenek dengan Nek Pi’ah, Meulu kemudian tahu bahwa ibunya Meurahna dulunya adalah gadis yang sangat cantik dan mempunyai kisah cinta.
Cut Gam, kemenakan Toke Mae (orang paling kaya di desa pantai itu), suatu ketika datang ke rumah Toke Anjah dan jatuh cinta pandang pertama terhadap putri tuan rumah, Meurahna. Besoknya ia langsung meminangnya, yang membuat berang Toke Anjah karena dianggap tak tahu adat. Ketika kemudian Toke Mae datang pula meminang, Toke Anjah masih menyangka orang kaya itu datang untuk kemenakannya Cut Gam. Tapi Toke Mae menjelaskan bahwa peminangannya untuk putranya sendiri, Banta Cut. Peminangan itu lantas disetujui. Hal ini tentu membuat Cut Gam gelisah.
Ketika segala persiapan pesta telah oke, tiba-tiba Banta Cut, si calon pengantin, hilang tiada kabar berita. Desas-desus mengatakan ia telah nikah di rantau dan telah pula berputra dan diciduk oleh kelompok yang bermusuhan dengannya. Merasa kehilangan muka, Toke Mae meminta kesediaan kemenakannya, Cut Gam, menjadi pengantin. Begitulah, pucuk dicinta ulam tiba, cinta Cut Gam menjadi kesampaian.
Tapi beberapa tahun setelah kelahiran Meulu, menghilang pula Cut Gam tak tentu rimba. Sedang sebelumnya Toke Mae telah pula dibunuh oleh kelompok yang memusuhinya. Demikianlah desa Lampulo menyimpan misteri yang tak tersibak.
Meulu mekar dan remaja dalam transisi antara keyakinan tradisional yang dihembuskan Nek Pi’ah dan napas modernisasi dicerapnya di sekolah dan lingkungannya. Meulu kadang bingung mengenang Nek Pi’ah menolong perempuan bersalin dengan hanya mengandalkan mantera seulusoh, sementara kenyataan yang kini disaksikannya, sebagai mahasiswi akademi perawat yang ikut magang pada klinik bersalin telah menggunakan berbagai kemudahan teknologi dan peralatan.   
Suatu hari ibunya, Meurahna, mengenakan sebentuk cincin ke jarinya dengan pesan supaya tetap dipakai. Tak lama kemudian terjadi gempa dahsyat mengguncang negeri mereka diikuti dengan tsunami yang menggulung dan memusnahkan segalanya.
Digulung semena-mena oleh air bah, Meulu dan ibunya terpisah. Meulu tenggelam timbul mengikutkan arus sampai ia mendengar rintihan di atas springbed yang hanyut didekatnya. Begitu saja ia naik ke atasnya dan menemukan seorang ibu yang terus mengaduh karena akan melahirkan. Seorang bocah lelaki didekatnya dan menangis.  
Ia betul-betul bingung. Dalam keadaan gawat seperti ini mana ada peralatan dan tetek-bengek yang dipraktekkannya di klinik? Sementara ia mesti menolong. Tiba-tiba muncul wajah Nek Pi’ah yang menyuruhnya melantunkan mantera seulusoh dan demikian saja Meulu begitu lancar menolong si ibu yang sedang sekarat.
Namun tsunami yang ganas memisahkan mereka. Meulu mengalami berbagai ilusi dan halusinasi di antaranya melihat dan bercakap-cakap dengan Bapaknya yang memberinya petuah-petuah. Kemudian Bapak dan Ibunya menjauh. Ketika membuka matanya ternyata Meulu berada di sebuah klinik. Bang Hanafi yang memimpin LSM yang bergerak di bidang kemanusiaan telah menyelamatkannya dari maut. Meulu dikenali karena ia memakai sebentuk cincin yang diberikan ibunya sebelum tsunami itu. Rupanya itu adalah cincin pertunangan ibunya dulu dengan Banta Cut. 
Ternyata Bang Hanafi adalah putra Banta Cut yang hilang belasan tahun lalu, sepupu Cut Gam ayah Meulu. Banta Cut sendiri baru saja menguburkan Meurahna yang dulu pernah menjadi tunangannya,  yang mereka temukan di antara tumpukan mayat.
Novel ini memakai teknik alur maju dengan sesekali flashback untuk menjelaskan berbagai peristiwa yang sedang dihadapi dengan sudut pandang orang pertama tunggal: Meulu sebagai aku. Alur yang merangkai peristiwa demi peristiwa dari mula hingga tamat seperti terlihat dalam sinopsis di atas, ternyata menggubris tema sentral: seulusoh, hanya dalam satu babakan di tengah peristiwa dalam banyak peristiwa yang dialami aku, itu pun menggantung karena aku “sibuk” dengan keadaan dirinya sendiri.
Hal ini terjadi karena aku lebih mementingkan kisah hidupnya dan silsilah keluarganya sebagaimana telah dimulai di awal hingga pertengahan novel ini. Dan di akhir peristiwa pembaca lalu mengetahui apa yang selama ini masih menjadi rahasia di tengah-tengah keluarga Meulu.
Dengan demikian pembaca bisa berkesimpulan bahwa tema cerita ini terbelah dua satu hal yang membahayakan sehingga novel bisa bergeser ke arah riwayat hidup atau biograpi dan kenyataan fiksi yang terutama ingin menghidupkan imajinasi pembaca menjadi terhambat dan pembaca curiga bahwa yang tengah dibacanya tak lain “hanyalah” kisah nyata.
Setting tempat alur bermain agak hidup dan tergambar pada kita oleh beberapa pengenalan terhadap alam dan lingkungan serta kebiasaan yang dilakukan oleh beberapa tokoh, misalnya kebiasaan meugang ketika menyambut bulan Ramadhan, atau perbukaan ie bu peudah yang khas. Kita juga bisa mengambil perbandingan dengan kepercayaan animisme yang telah berubah menjadi sinkretisme seperti seulusoh dan tahayul mendengar bunyi burung elang juga masih terjadi di Aceh, sebagai Serambi Mekah, sebagaimana mirip di daerah-daerah lainnya.  
Tokoh aku yang menjadi protagonis bukanlah karakter yang kuat sehingga sosoknya tidak hidup dalam kenangan kita. Aku mendeskripsikan dirinya secara hambar sehingga keterombangambingannya antara keyakinan tradisional dengan modernisasi tidak cukup kuat mengguncang batin pembaca. Kepanikannya ketika menghadapi si perempuan hamil di tengah gelombang tidak membuat kita ikut cemas dan ketika kepada Meulu lalu datang bayangan Nek Pi’ah menyuruhnya menolong dengan mantera seulusoh pembaca pun maklum bahwa aku akan mengikutinya.
Hal ini karena keraguan Meulu dalam menentukan pilihan: tradisional atau modernisasi, bukanlah didasari oleh sikap tapi semata pengalaman empiris. Tatkala aku, sebagai kandidat sarjana Akademi Perawat sekalipun,  panik karena tidak adanya (tentu saja) peralatan medis, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh kecuali dengan “keampuhan” seulusoh, tradisi yang sebenarnya diragukan Meulu dan ingin ditinggalkannya.  Kehadiran seulusoh atau bantuan dengan seulusoh itu bukanlah suatu pilihan tetapi lebih karena keterpaksaan.
Tokoh-tokoh lain pun, seperti Cut Gam, Toke Mae, Nek Pi’ah, dan lain-lain kurang membekas kepada kita. Tokoh Banta Cut yang semula kita kira sebagai antagonis dan di akhir kisah ternyata bukan, hal itu terasa kurang meyakinkan karena perubahan hanya muncul secara hambar pada denoument.
Novel singkat tapi “sangat selesai” ini lebih mirip sebagai cerita detektip di mana hal-hal yang dirahasiakan di awal cerita terkuak pada bagian akhir. Dan apakah Seulusoh  dapat dikategorikan sebagai novel mengingat Meulu sebagai tokoh utama tidak mengalami “revolusi” jiwa maupun raga meskipun ia menyaksikan dan mengalami peristiwa dahsyat yang mengorbankan keluarga dan harta benda.        

*Penuh hormat dan terimakasih untuk Bang Damiri Mahmud.
*Ulasan sudah pernah disiarkan di media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar