Header


Kamis, 02 Desember 2010

BIAR KAU TEMUKAN DALAM PUISI Oleh Damiri Mahmud



BIAR KAU TEMUKAN DALAM PUISI
Oleh Damiri Mahmud

  Apakah wujud sebuah puisi? Sungguh tak pernah habis dan tak mungkin selesai untuk dirumuskan. Secara umum dikatakan bahwa ia haruslah pada mulanya sanggup memancing selera, menggugah penglihatan, pengdengaran, perasaan, baru kemudian ibarat makanan atau minuman kita punya semangat untuk mengunyah dan menghirupnya. Dari situ kita kemudian tahu apakah ia terasa nikmat dan punya manfaat bagi keberlangsungan pertumbuhan organ tubuh kita atau sekedar penyumpal perut dan kemudian keluar dari pelepasan sebagai kotoran belaka. Mungkin ia terasa enak di bibir tapi menyengat di kerongkongan  dan membakar usus sehingga hangus karena ia sesungguhnya racun yang berbisa atau meskipun pahit jangan-jangan ia adalah obat yang kita perlukan untuk membunuh virus dan bakteri yang telah bekembang subur dalam tubuh.  
Sebuah puisi mungkin hanya tanda belaka dan kitalah pembaca yang memberinya makna. Seorang tukang membuat sebilah pisau, kita tak perlu mempersoalkan niatnya ketika mengolah benda tajam tersebut. Masalahnya ketika ia sampai ke tangan kita dengan bebas kita berhak untuk mempergunakannya meracik bawang, atau menikam seseorang, mungkin pula menjadikannya sebagai sebuah benda keramat yang harus diupah-upah dan diasapi setiap malam Jum’at.
Atau ia sebuah ekstrak, sari dari sebuah perjalanan dan pengalaman panjang yang di sana terasa lengkap memuat berbagai suka duka, pahit manis dan gelombang pasang kehidupan. Lalu kitalah pembacanya diminta arif menyikapi dan merefleksikan apa yang terkandung di balik kata-kata yang telah pepat terkatup dalam simbol dan dalam pemahaman tersirat itu. Mari kita baca sebuah sajak D. Kemalawati berikut ini.
KEPADA SANG DENGAN
SERIBU SENGKETA

biar kau temukan sendiri
setelah mengaduk bara
dan melerainya dalam renung yang basah
kala menjadi suatu perkara
semua memandang dengan mata luka
tanpa sengaja kau telah didaulat menjadi raja
lalu perkara dan petaka setipis senja mengepung tanah kita
tanah yang masih tergadai karena gerai rambut perempuan
laut yang sangsai
mungkin kau temukan mata cinta
menyapu ruang nganga yang hampa
kau pasti datang menjemputnya
memberikan tarian tubuhmu untuk dibaca
saat itu pemahaman kita tentang perjamuan akan jauh
berbeda
biarkan semua hingga
waktu tak lagi tersisa

Banda Aceh, 7 juni 2007
(dari Medan Sastra, pumpunan sajak, cerita pendek, drama, esai sastrawan Sumatera, hal. 22)

Dari teks di atas kelihatan puisi sangat berkepentingan sekali dengan kau dan mu, sama sekali tak mengekspresikan dia dan aku tapi menyembunyikannya ke dalam kita. Kau pada larik pertama terasa masih samar apakah itu dimaksudkan kepada pembacanya atau kepada seseorang, tapi yang jelas kata kau di situ masih netral, tak punya muatan parsial bahkan membebaskan kau untuk melakukan sesuatu tanpa ikut campur sesiapapun, meskipun di situ terasa ada aku yang tersembunyi. Larik kedua pula langsung membawa kita kepada suasana atau peristiwa yang besar dan dahsyat tapi tak menyebut siapa subjeknya, apakah kau atau aku, dia atau kita? Larik ketiga merekamkan akibat dari peristiwa itu dan mendeskripsikan sebuah solusi tapi siapa pula orangnya yang membuat penyelesaian itu? Kau? Aku atau kita? Juga tak jelas. Ada sesuatu yang samar dan membingungkan. Pembaca dihadapkan kepada sesuatu yang gelap dan mencengkam tentang keberadaan masalah dan peristiwa yang dihadapi  dan tentang siapa sebenarnya kau.
Atau ketiga larik itu adalah sebuah enjambemen sehingga kita harus membacanya  sebagai satu kalimat panjang? Jika demikian halnya terasa ada sesuatu yang tidak sinkron juga. Mengapa kau diminta untuk melihat dan menemukan sendiri suatu masalah dan peristiwa yang dilakoninya sendiri dan  telah berakibat begitu kusut masai lalu kau pula diminta melerainya,  memberikan solusi yang baik dan adil  dan merenung kembali apa yang telah dilakukannya?
Kedua pemahaman ini sama gelap dan membingungkan tapi menyisakan rasa ingin tahu yang besar apa sebenarnya yang dimaksud dengan semua itu. Ia seperti campur baur sebuah peristiwa yang tak terselesaikan dan tak tahu pula siapa yang melakukannya. Tapi barangkali hal ini merupakan sebuah penanda yang disugukan penyair akan suatu peristiwa gelap dan dahsyat. Sangat terasa kecemasan dan ketakutan dengan tak jelasnya atau terhilangnya subjek atau agens pada larik kedua dan ketiga itu. Seakan-akan ia seperti hantu yang tak jelas wujudnya tapi sangat dirasakan kehadirannya.
Apabila kita baca larik berikutnya, tampaknya peristiwa yang masih gelap itu bukannya tambah surut bahkan malah merebak menjadi suatu perkara dan kini hal itu sudah tak dapat disembunyikan dan ditutup-tutupi lagi karena semua memandang dengan mata luka. Kemudian diteruskan pula dengan  larik yang terasa sangat tidak lazim: tanpa sengaja kau telah didaulat menjadi raja. Kita tentu bertanya mengapa hal seperti itu bisa kejadian. Seorang raja yang akan ditabalkan tentulah telah dipersiapkan dalam konvesi yang baku dan rapi, karena ia memandu tanggung jawab yang besar dan hak hidup banyak orang. Sesuatu hal yang tanpa sengaja hanya dapat terjadi dalam situasi dan kondisi yang tidak biasa, konon pula yang menyangkut pengangkatan raja. Tentu telah terjadi penjungkirbalikan nilai-nilai, atau suatu terobosan yang bukan alang-kepalang, ataupun barangkali sebuah revolusi guna menciptakan suatu keadaan yang dikehendaki dan diharapkan bersama setelah sebelumnya terjadi kemampatan dalam segala hal yang menyusahkan dan menyengsarakan serta memorakporandakan semua sistem dan nilai-nilai yang dijunjung bersama.
Kau dan mu tampaknya adalah satu sosok utuh dan menjadi kunci penentu dalam puisi ini dan dengan demikian sangat penting untuk diketahui, tapi penyair menyembunyikan kesiapaannya, hanya mendedahkan sedikit keapaannya, apa yang akan dilakukannya yaitu: memberikan tarian tubuhmu untuk dibaca. Itulah yang akan dilakukan oleh kau, si sosok yang sangat dinanti dan diharapkan itu: menari! Tapi sekali lagi, anehnya, tarian itu untuk dibaca! Bukan untuk dilihat. Apakah ini hanya semacam gejala bahasa saja, gejala sinestesia, atau memang sesuatu yang bersifat momentum, yang telah diperhitungkan benar gerak dan lakunya karena dengan tindakan itu sangat diharapkan perjamuan akan jauh berbeda. Ya. Tampaknya tarian inilah yang merupakan andalan si kau untuk disugukan kepada kita untuk menjelmakan impian dan harapan. Tarian itu merupakan tolok ukur yang menentukan karena ia dibaca, diperhatikan, dinilai.               
Mengapa kau seperti disembunyikan identitasnya, dan membukakan tabir keberadaannya dengan simbol dan siratan yang samar sehingga bisa-bisa menyesatkan pembaca kepada pemaknaan yang jauh berbeda. Semacam ada kecemasan atau semacam prediksi bahwa kau belum saatnya tampil dan dibebani terlalu berat dengan harapan sehingga kita dengan pasrah menyerahkannya kepada waktu.  
Puisi yang menyimpan dan sarat dengan permasalahan dan beban yang berat ini dipepatkan dengan larik-larik yang patah dan kadang tak selesai atau dalam simbol yang menukik jauh ke dalam esensi meski diimbangi dengan beberapa lambang yang sudah dikenal. Ada satu hal yang menarik, meskipun dari segi makna kata, ia ingin mengekspresikan sesuatu tragedi, darah dan air mata, tapi irama puisi ini, terutama rima akhirnya mengisyaratkan suatu harapan yang besar. Rima akhir yang dibuka dengan vokal i dan kemudian didominasi oleh vokal a ini menunjukkan kuatnya bunyi yang terbuka dan fenomena ke masa depan. Sesekali dijedahi oleh konsonan h dan diftong ai, semacam desah dan aba-aba dalam sebuah perjalanan yang panjang. Diftong ai biasanya memberikan rasa romantis dan ceria kepada pendengar. Larik kedelapan dan kesembilan dimuati dengan diftong tersebut. Makna gadai, melepaskan hak tapi masih bisa ditebus, tampaknya sinkron dengan bunyi. Lalu gerai lebih mengesankan kepada kesan sensual, sementara sangsai lebih dirasakan kepada sesuatu yang melankoli, dibandingkan kalau kata itu kita ganti dengan sinonimnya melarat. Jadi kesimpulannya, diftong ini perlu dan sesuai sebagai rima penyelia di antara rima yang didominasi oleh vokal a tadi.
Kalau kita mencoba membaca teks tersebut secara hermeneutik, penyair tengah mendedahkan sesuatu peristiwa pergolakan yang terjadi di negerinya, Aceh, sehingga catatan penulisan dan riwayat hidup penyairnya menjadi penting. Pembacaan hermeneutik, adalah pembacaan karya sastra berdasarkan perhatian kepada konvensi sastranya. Terutama penguraian terhadap bahasa kiasan, simbol, metafora, ambiguitasnya, dan sebagainya.
Barangkali tak perlu kami atau siapa-siapa yang memberitahukannya kepadamu. Tapi biarlah engkau yang menemukannya sendiri sehingga jelas bagimu apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini. Setelah (mereka atau dia) menyulut perselisihan sesama kita dan mengobarkan peperangan yang tak kunjung padam (mengaduk bara). Dan bagai pedang bermata dua (mereka atau dia) mencoba mencari kambing hitam tentang siapa yang bersalah (melerainya) dan berpura-pura menjadi seorang yang arif dan bijaksana menasihati (kita) yang telah menjadi korban dan telah bersimbah air mata (renung yang basah). Tapi ketika semua ini tak bisa lagi ditutup-tutupi karena begitu dahsyatnya dan telah terbuka ke mata dunia (kala menjadi suatu perkara), terutama mereka yang peduli tentang hak asasi manusia mencoba mencari solusi bagaimana mencari penyelesaian dan perdamaian secara baik supaya jangan lagi korban-korban berjatuhan (semua memandang dengan mata luka).           
Di meja perundingan terjadi kesepakatan gencatan senjata, oleh karena keprihatinan dunia terhadap negeri ini yang telah dikuras untuk pemuas hawa nafsu dan keserahan (tanah yang masih tergadai karena gerai rambut perempuan);  konon pula bencana alam dahsyat atau tsunami yang melanda negeri kita ( laut yang sangsai); telah menjadi hikmah besar bagi semua sehingga perundingan demi perundingan yang selalu gagal kali ini tampak memperlihatkan hasilnya (kau temukan mata cinta). Hak-hak sipilmu,  yang dulunya dituduh pengacau atau pemberontak,  dipulihkan dan ternyata masih dipercayai rakyat. Terbukti ketika dalam pemilihan gubernur secara langsung, salah seorang darimu yang menjadi pemenangnya (tanpa sengaja kau telah didaulat menjadi raja).
Kami percaya penuh kepadamu dan mengharap terlalu banyak kepadamu mengingat negeri kita ini telah cukup luluh lantak (ruang nganga yang hampa) dan kau tentu akan dapat mencari jalan keluar yang diharapkan (kau pasti menjemputnya),  sebab kami percaya penuh pula akan kejujuranmu karena kau punya pengalaman dan selalu terbuka tanpa perlu menutup-nutupi apapun yang harus atau semestinya diperlihatkan secara transparan (memberikan tarian tubuhmu untuk dibaca). Sehingga dalam kepemimpinanmu segala sesuatunya tentu akan berubah, kalau dahulu rakyat berada dalam ketakutan, mengungsi atau menjadi korban, kini dapat bekerja dan hidup dalam keadaan aman dan sejahtera (pemahaman kita akan perjamuan akan jauh berbeda).
Tapi begitupun kami harus realistis, harus tetap melihat kenyataan dan bahu-membahu dalam melaksanakan harapan ini hingga ke batas waktu yang telah ditentukan (biarkan semua hingga waktu tak lagi bersisa).
Sebagaimana diketahui, di Aceh telah terjadi pergolakan sosial dan politik yang tiada hentinya sejak awal kemerdekaan lagi. Tahun 1950-an Daud Beureueh memimpin gerakan DI-TII dan berakhir di awal 1960-an ketika ia dan lasykarnya turun gunung dan diberi amnesti oleh Presiden Soekarno. Kemudian di era Orde Baru, 1976, Hasan Tiro memimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang memakan waktu paling lama, dan mengambil korban yang tidak sedikit, ribuan orang tewas, ribuan lagi hilang dan mengungsi ke sana ke mari dan banyak di antaranya para perempuan diperkosa dan kehilangan haknya sebagai manusia.
Beberapa kali diadakan penengahan dan perundingan serta gencacatan senjata, tetapi selalu gagal. Terakhir, atas prakarsa Martti Ahtisaari dari lembaga internasional Crisis Management Initiative, pada tanggal 15 Agustus 2005, Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyetujui Kesepakatan Helsinki yang mencakup enam hal dengan 71 butir perjanjian. Dan kelihatannya kesepakatan ini dapat bertahan dan terlaksana di lapangan sehingga pergolakan Aceh reda. Hal ini menggembirakan mantan Presiden Finlandia itu dan menyebut bahwa bencana tsunami menjadi salah satu hikmah menginsyafkan kita dari pertikaian yang tak kunjung sudah itu. Demikianlah Aceh mendapat otonomi penuh dengan nama Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Pada awal tahun 2007, diadakan pemilihan gubernur secara langsung di NAD. Secara mengejutkan, Irwandi Yusuf, calon independen dan sebelumnya adalah tokoh GAM, memenangkan pemilihan ini secara mutlak. Ia dipercayai oleh rakyat untuk meminpin negeri itu, membenahi segala sesuatunya yang telah hancur dan porak poranda.               
Tampaknya peristiwa inilah yang melatarbelakangi dan menjadi tema dari puisi di atas. Dengan demikian, dalam sebuah puisi yang singkat, D. Kemalawati telah mengekspresikan pengalaman indrawinya yang menyentuh dan menggores bahkan mungkin menyita seluruh emosi dan rasionya yang disarikan ke dalam sebuah pengucapan estetik dan tidak terjebak kepada sentimentalitas yang verbal dan cengeng. Penyair tampaknya dapat menahan diri dari kata-kata yang bombas dan hiperbol serta simbol dan kiasan yang telah klise, satu hal yang memang sukar melepaskannya karena penyair tersangkut atau berhubungan langsung secara emosional dengan tema dan latar belakang puisinya, sedangkan dari banyak puisinya yang ditulisnya sebelum ini dengan tema dan latar belakang yang sama, ia masih tersandung kepada masalah ini.    


*Damiri Mahmud, Kritikus sastra dan Penyair, menetap di Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar