Header


Minggu, 14 November 2010

Sajak-sajak D Kemalawati (Republika, 12 Agustus 2007)

KETIKA KARTINI BERKUNJUNG KE ACEH

ia memakai kebaya ungu 
sanggul melati dan selop berhak tinggi 
di tangannya buku harian pena emas dan sehelai perangko

ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa 
dari belantara Cut Nyak mengirim aba-aba 
ia butuh senjata menikam serigala

Banda Aceh, 21 April 2006

CUTBANG DI ATAS AWAN

cutbang terbang saat perang usai 
disambut ceurana retak, ranub masak 
dan hidangan meulod tanpa zikir

ia menjadi gasing di kampung sunyi 
bertahan kaki di lahan pecah 
tak bertemu penebang liar 
menebar candu di kulit badan 
muka, berpaling-paling teliti jalan

degup jantungnya disapa langit 
ia seperti gerimis yang menggantung 
angin marah pada denting malam 
yang dilecut asap garang

pasang purnama merendam dinding kayu 
ketika laut bermuka dua 
cutbang, basuh mukamu 
sebelum saleum menjadi petaka

Banda Aceh, 20 April 2006
* Ceurana adalah wadah untuk meletakkan sirih.

D. KEMALAWATI, YA GURU MATEMATIKA, YA PEGIAT SENI

Oleh Debra H Yatim
Quantcast

Awal April terjadi peristiwa menarik bagi dunia sastra Aceh. Walikota Banda Aceh, Razali Yusuf, menyatakan bersedia membeli buku puisi Surat Dari Negeri Tak Bertuan karya D. Kemalawati untuk disalurkan ke sekolah-sekolah di ibukota NAD itu.
D. Kemalawati, bersama Helmi Hass, Harun Al Rasyid, Saiful Bahri, Mutia Erawati, Sulaiman Tripa, dan Erwinsyah, adalah pendiri Lapena, organisasi kebudayaan dan kemasyarakatan non-profit untuk memajukan kebudayaan. “Kami menyisihkan sebagian penghasilan kami untuk membangun Lapena,” kata Kemalawati, yang akrab dipanggil Deknong.
Penyair dan penari putri Aceh ini guru matematika di sebuah sekolah menengah di Banda Aceh. Beberapa tarian tradisional dikuasainya dengan baik ketika masih di SD. Ia pernah menjadi syekh Pho, tari sangat terkenal dari pantai barat-selatan Aceh. Selanjutnya klik di sini

Puisiku dalam buku 'Percakapan Lingua Franca' Antologi Temu Sastrawan Indonesia III

MIMPI
Puisi D Kemalawati

bangun pagi anakku menangis
"sebatang pohon telah dipisahkan," isaknya
"di mana?" tanyaku
"di mimpiku, Ibu"

dia mendengar tangisan pohon itu
sepanjang malam
airmatanya menggenangi parit, kali, sungai
bahkan menggenangi seluruh kampung