Header


Senin, 06 Desember 2010

MENYOROT SURAT DARI NEGERI TAK BERTUAN DARI SUDUT KAJIAN TEKSTUAL PASCA-MODENISME



Pengarang atau penyair adalah satu personaliti yang mampu mentranformasi idea dan pengalaman dengan mekanisme tertentu hingga ia dapat dijelmakan kepada sesuatu yang bersifat puisi dan literaris. Penyair membentuk pengalamannya yang tersembunyi di balik kata-kata untuk membina teks sendiri. Dan peneliti-peneliti pasca-modenisme seperti Lyotard, Faucault dan Bernes menyatakan, penyair mempunyai keberanian dan kekuasaan untuk menzahirkan keindahan. Melalui kajian inilah, saya cuba melihat Surat Dari Negeri Tak Bertuan sebagai satu pendekatan intelektual, intertektualiti dan penafsirannya dalam hidup.

Surat Dari Negeri Tak Bertuan ( Lapena, 2006 ) merupakan koleksi 89 buah puisi De Kemalawati. Puisi yang ditangani dalam jangka masa 18 tahun ( 1987-2005 ) adalah renungannya terhadap ruang dan waktu. Dalam tempoh masa yang begitu panjang, De nampaknya kekal dalam pengucapan yang dapat dikatakan sebagai identitinya. Bahasa kewanitaannya lembut, tidak terlalu hyperbola bagi mengangkat kecintaannya. Lihatlah De dalam puisi ini.

barangkali terlanjur kukabarkan
tentang kesetiaan
sedang penantian terlanjur panjang
dan ketika timbul kesadaran
hati kita tak utuh lagi

barangkali darah yang yang kering lebih banyak bicara
kita sama-sama luka
walau saling berpelukan
kurasakan tak ada lagi kedamaian

barangkali ada cinta yang lebih
tak bisa kutawarkan padamu
kuharap suatu saat nanti
kau pun tahu tentang arti kesakitan

( Tentang Cinta Yang Lebih, hal. 104 )

Ada unsur homologi dalam puisi Tentang Cinta Yang Lebih ini mengasosiasi diri penyar dengan sejarah yang memercikkan rasa sinis dan sarkastik manusia. Walau pun dikabarkan tentang kesetiaan pada penantian yang begitu panjang, darah yang kering adalah lambang keonaran. Apakah harus ada darah tatkala satu keluhuran cinta ( yang lebih ) yang bisa ditawarkan. Lihatlah kontradiksi ini.

walau pun saling berpelukan
kurasakan tak lagi ada kedamaian

Cara De melihat persoalan ideologi lebih kepada pemandangan femenisme. Dia jujur, walau ada sedikit sakral tetapi hukumannya lembut.

Barangkali begitulah cara De memotret. Bahasa De dikatogarikan stail-ironik yang cerdik yang bisa mengajak manusia berfikir. Dalam Potret ( hal. 54 ) De menulis,

diberi kami waktu menapak pemberian
antara burung dan angin
sayap semakin rapuh
ada kesenjangan merakit cahaya
entah potret siapa tersaji begitu tiba-tiba
imajinasi bersanding menara gading
larut menjadi debu
sikap
malang atau tak peduli
begitu kaku di mata

Teori fenomanologi Edmund Husserl menyatakan bahawa pengalaman adalah fenomina yang mencorakkan prapanosia pengarang. Ini dapat dilihat dari baris, diberi kami waktu menapak pemberian / antara burung dan angin / sayang semakin rapuh. Penyair telah diberikan waktu yang mencukupi untuk menafsir sesuatu yang kukuh ( burung dan angin ) namun keupayaan mengaplitasi begitu rapuh. Ini diakui dengan frasa, sayang semakin rapuh. Sebagai orang pertama melihat longgokan puisi dalam satu bekas ( iaitu kumpulan puisi ) Robin Lim mengomentar secara jujur, " Barangkali saya beruntung, soalnya puisi-puisi ini selayaknya dibaca seperti itu, ibarat orang menangis tersedu-sedu. Ini satu pencerahan bagi saya. Saya harus mengikut sarana Robin untuk membaca puisi-puisinya secara menangis tersedu-sedu. Mengapa? Tentu Robin sebagai penganalisa pertama, membaca keseluruhan  puisi tanpa tersisa. Katanya, wanita ini serta bangsanya tahu arti penderitaan. Mereka dikhianati oleh bangsanya, oleh laut yang selama ini menghidupi mereka turun menurun.

Saya jadi terkesima. Memang tidak semua puisi De saya soroti secara total. Tapi Robin telah membuka nuansa saya. Barangkali Ombak ( hal. 2 ) bisa memaknakan tanggapan Robin. 

seandainya kau pergi jauh
tak kembali
akan kulayari kekecewaanku
agar sesiapapun kau merasakan
berbagai makna di kakiku
yang terus telanjang


Ya, De dan ombak adalah dua juzuk yang sering berkawan dan memaknakan kehidupan. Ombak kala datang melambai, ia akan memesrai kaki yang telanjang. Kaki yang tahu benar dengan resam ombak. Kembalinya ombak ke tengah lautan, adalah pamitan kepada pengalaman dan penyair akan berasa kehilangan dan kekecewaan. Untuk lebih besar lagi maknanya, ombak adalah pengalaman hidup. Pengalaman yang membasahkan manusia dengan segala keberanian dan kehamilan perasaan.

Lihatlah bagaimana De menyelami ombak ( gelombang ) dalam Sajak Abadi ( hal. 34 )

hidup berpilin-pilin dalam gelombang
sajak-sajak di kaki pertokoan
terjerat benang kusut
merimba haru kicauan burung dara

warna air matanya mampu mengalir ke dermaga
pelarian adalah sajak abadi
setelah asa semakin jauh

Nada kecewa dalam Sajak Abadi  mengajak kita merenung akan kekuatan massa merempuh gelombang yang berurut-urutan. " Hidup bagai berpiin-pilin dalam gelombang / sajak-sajak di kaki pertokoan / terpaut benang kusut / menimba haru kicauan burung dara " Ini adalah suara penyair pribadi. Sebagai watan tidak menghirau rempuhan gelombang menghakis kekuatan nalurinya. 

Dalam sajak panjang, Surat Dari Negeri Tak Bertuan ( hal. 84 ), De mengungkapkan,

sabahabatku, inilah suaraku dari negeri tak bertuan
sebenarnya telah sangat lama berita ini
ingin kukabarkan tetapi
seperti kau juga aku selalu terjaga
setiap malam untuk menenangkan diri
bahwa kuku panjang yang merobek-robek
hikayat negeri kita terlalu keras mencengkeram bumi
hingga kini mengalirkan airmata darah

aku jadi malu pada diriku
sungguh telah membiarkan ceita luka
terkubur dalam batinku tanpa menceritakan padamu
tapi kuyakin kau juga telah banyak tahu
tentang tanah dan airku yang
kini berwarna merah

dikeranakan tabir telah terbuka
tak ada yang harus kusembunyikan
ingin kubertanya padamu tentang wajah kami
apakah benar berwajah srigala
hingga pemburu beradu cepat
mengangkat senjata

kalau benar katamu
apakah kami harus [unah
bersimbah darah
tolonglah aku
jawablah pertanyaanku
kerana kamulah yang masih
bisa kuajak bicara
sejak mereka memalingkan muka

Ideologisme di kalangan penyair wanita bukanlah asing. De tampak mengisi ideologisme ini dengan caranya sendiri. Femenisme selalu memberi tentang ideologisme di kalangan penyair wanita bersuara lelaki. Seperti kata Robin, bacalah puisi De dengan menangis untuk mendapat kesan abadinya. Ternyata balada panjang Nonggroe yang ditulisnya, berkeliwer bata-bata yang mencengkam dalam jiwanya. Keberanian itu iltizam yang mewarnai pribadi. De seolah terbenam dalam sangkar yang sering parah oleh pemberontakan. Sangkar ( jasad ) De sentiasa ampuh, tetapi jiwanya remuk dan mengalir darah kecewa. Kerana katanya, kerana kamulah yang masih / bisa kuajak bicara / sejak mereka memalingkan muka.

Ini jatah tanah Nonggroe. Berkeliwer sejuta mata rencong dari tuan tak terkendala. George Lukacs menyatakan, penyair akan sentiasa tersuntik semangat proresif dan optimistiknya berhadapan dengan kendala yang membelenggu dirinya. Dan De ternyata membenarkan ungkapan itu.

89 buah sajak dalam jangka masa 18 tahun penulisan De adalah karya pilihan yang cukup baik. De dengan suaranya yang khas telah menandakan kehadirannya dalam diam. Lihatlah Diam ( hal. 124 ) bagi memaknakan dirinya.

di suatu halte yang suram
aku mencari makna yang menggantung
pada kelabu burung pungguk
menandai sarangnya

Ya, De telah menandai sarang " kepenyairannya ' dengan Surat Dari Negeri Tak Bertuan. Di kalangan penyair wanita, De Kemalawati berada di sisi yang tersendiri di antara Diah Hadaning, Helvi Tiara Rosa, Abidah El Khaliqie dan lain-lain. De dalam piliihan bahasanya yang bening, dilingkar oleh patukan revolusi dan simpang siur, mencipta satu kedudukan yang luar biasa. Apatah lagi pengendali Pendidikan Metametika yang berkecimpong dalam kerangka bahasa, penampilan De Kemalawati boleh dianggap diluarbiasaan. Tanah Nonggroe telah banyak melahirkan keluarbiasaannya yang menggugah naluri kita. De salah satunya keluarbiasaan itu.

07 Desember 2010 jam 1:28

*Djazlam Zainal, kritikus sastra Malaysia, tinggal di Melaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar