Header


Kamis, 02 Desember 2010

SEBATAS KERTAS JINGGA


 Oleh Damiri Mahmud

Mengapa atau apakah sebenarnya dorongan yang membuat seseorang menulis sebuah puisi? Ada banyak pilihan dan jawaban. Mungkin ia ingin mengekspresikan sesuatu yang tersekat dan tersumbat dalam diri sanubarinya, yang menghantui dan mengganggu perasaan dan pikirannya dan setelah diluahkan terasa ketenangan dan kejernihan dalam batin, semacam katarsis. Atau ingin melampiaskan gumam, kekecewaan, kesedihan, ratapan, kenangan, masa depan, impian, dan sebagainya. Bisa pula respon terhadap suatu peristiwa, renungan akan sesuatu yang mesti dipecahkan.
Tapi itu semua adalah muatan sebuah puisi. Sebagaimana halnya muatan atau isi tentu saja ia memerlukan bungkus kalau tidak hendak akan berserakan dan tercerai-berai. Karena muatan ini memilih puisi untuk mengekspresikan dirinya tak boleh tidak ia harus berurusan dengan kata dan irama. Sebagaimana halnya setiap orang yang terlahir dalam sebuah kebudayaan, maka seluruh perbendaharaan kata telah tersedia baginya. Dan yang membedakan seorang penyair dengan ekonom atau politisi adalah cara mereka memilih kata. Seorang penyair harus sensitif terhadap sebuah kata karena baginya kata bukan hanya sebagai alat komunikasi temporer tapi yang lebih penting untuk mengabadikan perasaan dan pikirannya sebagai suatu penghayatan yang utuh.
Maka seorang penyair harus siap mengamati gerak-gerik kata sehingga ia mendapatkan sesuatu yang selalu baru dengan  gaya tersendiri di tengah arus lalu lintas puisi yang sudah menyesak dalam blantika sastra ini. Dan karena dalam diri setiap penyair ada irama yang selalu mengalun dan kadang menggelombang atau menggulung, maka kata-kata itu pun masuk dan menyusun dirinya ke dalam bentuk larik dan bait.   
Membaca kumpulan puisi Lampion (Lapena, Oktober 2007) yang disunting oleh Sulaiman Tripa dan memuat karya 19 penyair perempuan Aceh,  kita bertemu dengan puisi-puisi yang umumnya berisikan pengalaman dan tragedi yang membawa kepahitan hidup, satu-dua yang berisikan perenungan terhadap eksistensi diri.
Sebuah puisi pendek Armiati Langsa ini mungkin mewakili tema yang ada dalam kumpulan ini.

LUKA
Hanya ada luka yang menganga
Perih
Di lubuk hati
Sementara darah dan air mata
Tak pernah mengalir lagi
Maret 2006
 Ia bicara tentang luka yang abstrak dan tidak berusaha mengkonkretkannya tapi tragedi itu begitu dahsyat sehingga darah dan air mata kering tak pernah mengalir lagi. Rakyat, sebagaimana yang diwakili pena penyair, hanya punya keinginan sederhana untuk dapat bertahan hidup, tidak neka-neko , cukup kalau tempatnya berdiam aman, tidak terjadi huru-hara yang dia sendiri tak tahu apa sebabnya tapi merekalah yang banyak terkorban. Dalam Lelaki Tua Itu  Armiati menyiratkan Perdamaian Helsinki membawa keberkatan kepada rakyat, karena dapat kembali mencium bau lumpur yang membubur. Sangat sederhana keinginan mereka dan yang begitu sederhana pun terasa sangat mahal sehingga mengharukan. 
Puisi-puisi dalam kumpulan ini mungkin sebagaimana yang diisyaratkan oleh Cut Januarita bernada not sumbang  oleh karena:
pipit bernyanyi
menitip pesan pada jasad
beraroma mesiu
              (Nyanyian Pipit, bait IV)
Sebuah ironi yang terasa menyentak, suara hati yang ikhlas dan bersahaja dari orang-orang kecil sebagaimana pipit bernyanyi selalu tak terpahami karena yang menerimanya berbeda atau bertolak belakang dengan si pelantun yang mengharapkan kedamaian. Memang demikianlah tampaknya dunia, kebutuhan pipit yang sederhana selalu disepelekan oleh enggang atau rajawali karena telah begitu jauh dan beda kepentingan.
Ada kesadaran atau perenungan akan akar masalah. Puisi Debra Yatim Garis Ibu tampak mencoba menyelusurinya.
bermula dengan berat dalam rahim dan linu di pinggang
karena mengandung kemanusiaan
dan berakhir dengan berat hati karena mengandung
tumpah-ruah tikai lelaki.
                        (bait III)
Mungkin ini semacam sensitivitas perempuan. Kandungannyalah yang telah mengeramkan manusia dan dari jagad kecilnyalah bermunculan bibit-bibit penghuni bumi lalu merasa kecewa karena melihat dan menyadari ternyata eramannya itu berasal dari tumpah-ruah tikai lelaki. Semacam pengakuan atau tak hendak mencari kambing hitam barangkali, penyair “mencambuk” kaumnya supaya sejajar Nyak Dhien, sebagaimana yang ia sebut pada larik berikutnya.
 Dan kita tahu bahwa tokoh ini adalah perempuan perkasa yang sangat konsisten sehingga tak heran kalau D. Kemalawati mengidentifikasikan dirinya secara ideal sehingga tak bisa ditawar dan ditukar dengan lain.
Ia mengajak Cut Nyak Dhien semeja di pendapa
dari belantara Cut Nyak mengirim aba-aba
ia butuh senjata menikam serigala
                      (Ketika Kartini..., bait II)
Artinya, sebagaimana Cut Nyak yang melemparkan selop berhak tinggi, seperti ia sebut pada bait I, penyair menyeru para perempuan supaya gigih dan konsisten berjuang tanpa salah-menyalahkan sesama sehingga serigala atau biang kerok permasalahan dapat tertuntaskan dan kemudian segala kemampatan bisa lancar dan jalan.
Karena belajar dari sejarah berapa banyak negeri yang hancur berkeping-keping, sebagaimana yang kini kita saksikan di Palestina, Afghnistas dan Irak, yang komando perjuangan mereka terpecah dalam banyak faksi sehingga apa yang diharapkan berbalik menjadi perselisihan yang tak habis-habisnya. Lalu secara halus Kemalawati menyindir dalam Seudati.
lupakan hikayat tua itu
di sini
kabut masih berdiri
pemetik jari masih menari.
Ya, mari melupakan sejarah hitam yang telah berlalu, supaya rakyat, seperti petani di atas, bisa bekerja dan menjalankan fungsinya masing-masing. Mencoba mencari hikmah dari sebuah kekeliruan atau tragedi sebagaimana tsunami yang dahsyat itu akhirnya seperti membuka keinsyafan sehingga memberi jalan kepada Pakta Perdamaian Helsinki itu. Sebab kalau tidak, secara sugestip penyair mengingatkan, di sini/kabut masih berdiri/pemetik masih menari/. Yang sebarang waktu siap memantik atau menarik picu kembali menjadi hancur dan berantakan.
Sebab kehidupan di dunia, sebagaimana disadari oleh Wina SW1, hanya tak lebih seperti lampu kertas yang hanya digunakan sesaat dan mudah hancur. Dalam Lampion Wina seperti berfilsafat:
menyala ia sebelum sadar
menyentuhku
aku terbakar gelap

kertas-kertas jingga
batas nyala dan redup                                  
Ternyata kehidupan yang ditapaki manusia di dunia ini begitu singkat,  sangat singkat. Aku terbakar gelap. Antara terbakar—artinya hidup yang diisi dengan nafsu angkara murka—dan gelap—mengakkhiri hidup atau ke kematian—bahkan tak ada jarak. Dan alangkah tipisnya nilai-nilai antara benar-salah, menang-kalah, senang-susah, bahagia-celaka, yang dititi dan coba direka manusia, konsep-konsep yang diperjuangkan dan dipertahankannya secara mati-matian, padahal tak lebih hanya kertas-kertas jingga sebagai penyangga antara batas nyala dan redup. Sekali datang angin kecil memandu lilin sang kertas dengan mudah terbakar dan hangus. Hidup tak lebih sesingkat dunia permainan kanak-kanak, sebagaimana lampion yang cantik dan gemerlap sesaat lalu menghitam menjadi abu. Dan di antara kertas tipis dan nyala lilin itulah kita sekarang masih hidup!   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar