Header


Selasa, 28 Desember 2010

Saat Kepedihan Aceh Terungkap Dalam Puisi




 
LESATAN peluru timah panas, kepulan asap, serta cucuran darah rakyat yang tidak berdosa, boleh jadi saat ini hanya terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Namun, di wilayah lain, kepedihan akibat dari konflik bersenjata itu juga terasa dalam pergelaran puisi dan peluncuran buku kumpulan penyair perempuan Indonesia, Kemilau Musim, di Bandar Serai, Pekanbaru, Sabtu pekan lalu.

Kepedihan dalam puisi-puisi karya Rosni Idham (50), penyair kelahiran Desa Sawang, Manee Barat, Meulaboh, Aceh. Puisinya berjudul "Siapa Menggagahimu", yang dituntaskan pada November 2000, terasa menyentak kesadaran akan kepedihan yang dirasakan warga Aceh ketika dibacakan oleh Rosni sendiri dengan seluruh penjiwaannya.

Simaklah bait-bait berikut:

Kasih
siapa menggagahimu di langit kemarau
menyeret bocah-bocah hijau
melukis luka dan nestapa di kanvas galau

Kasih
siapa menggagahimu di rimba rumput ilalang
jiwa dan jasad menggigil rapuh tak bertulang.

"Saya sangat bahagia bisa mengungkapkan berbagai kesedihan yang kami alami saat ini. Saya juga gembira karena mendapatkan kesempatan mengungkapkan kisah negeri yang terluka dalam pagelaran puisi ini," ujar Rosni saat mengawali pembacaan puisinya itu.

Menyusul kemudian, sebuah puisi Rosni lainnya yang bernapas sama, "Deru Ombak Suak Ujung Kalak", ditampilkan di atas panggung. Puisi yang bercerita tentang tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Tanah Rencong itu memang tidak dibawakan sendiri oleh Rosni. Pembacaannya dilakukan oleh penyair asal Riau yang juga adalah Direktur Akademi Kesenian Melayu Riau Taufik Ikram Jamil.

Keenam puisi hasil karya Rosni yang menjadi bagian dari Kemilau Musim tersebut menyiratkan penderitaan yang tanpa henti dialami oleh rakyat Aceh. Puisi-puisi tersebut menggambarkan secara jelas berbagai penderitaan rakyat Aceh. Bahkan, terucap kata tentang kisah cucuran darah tertumpah di tanah berjuluk Serambi Mekkah tersebut, seperti dapat disimak lewat puisi "Negeri Terluka I dan II", serta puisi berjudul "Kepada Ibu Pertiwi".

Penyair perempuan lainnya yang juga datang dari Meulaboh adalah D Kemalawati. Seperti halnya Rosni, salah satu dari lima puisi Kemalawati yang ada dalam Kemilau Musim dituntaskan pada saat konflik bersenjata di provinsi tersebut belum sampai pada penghujungnya. Puisi itu ia beri judul "Surat dari Negeri Tak Bertuan", yang ditulisnya di Banda Aceh, Juni 1999.

Baik Rosni maupun Kemalawati sama-sama mengungkapkan, pada saat pertikaian bersenjata tengah meningkat di Aceh, mereka memerlukan lebih banyak keberanian untuk bisa berangkat dari Meulaboh hingga sampai di Pekanbaru. Namun, kata mereka, keinginan untuk mengungkapkan kesulitan dan penderitaan rakyat Aceh melalui puisi lebih kuat dibandingkan hambatan yang ada di sepanjang perjalanan dari Meulaboh menuju Pekanbaru.

"Meski sama sekali tidak nyaman selama dalam perjalanan, namun telah menjadi kenikmatan tersendiri untuk mengungkapkan kesedihan teman-teman kami di Aceh melalui puisi di Pekanbaru ini," kata Kemalawati.

PUISI-puisi Rosni dan Kemalawati memang hanyalah bagian kecil dari 238 puisi lainnya yang disusun apik dalam buku kumpulan puisi penyair perempuan Indonesia itu. Terdapat 51 penyair perempuan yang berasal dari 23 kota yang berbeda di Indonesia untuk bergabung dalam buku hasil karya Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru (HPSBP) itu.

Ketua HPSBP Herlela Ningsing mengatakan bahwa buku kumpulan puisi tersebut merupakan bagian dari serangkaian buku sejenis yang sudah dan akan diterbitkan oleh perhimpunan penyair perempuan Pekanbaru. Setahun mendatang, sebuah buku kumpulan puisi lainnya akan diterbitkan dengan cakupan yang lebih luas, yakni kumpulan puisi dari para penyair Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

"Kemilau Musim ini adalah hasil karya kami yang ketiga. Sebelumnya sudah diterbitkan dua buku kumpulan puisi, yakni Musim Berganti yang merupakan kumpulan puisi penyair perempuan se-Pekanbaru, serta Musim Bermula yang merupakan kumpulan puisi hasil karya penyair se-Sumatera," kata Herlela.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Pelaksana Harian Yayasan Bandar Serai Ali Haji Pekanbaru Al azhar mengatakan bahwa buku kumpulan puisi tersebut merupakan hasil karya yang langka. Hal tersebut dimungkinkan sebab upaya untuk mengumpulkan hasil-hasil karya puisi dari para penyair yang berbeda tempat itu bukan merupakan pekerjaan yang mudah.

Selain dari Pekanbaru serta beberapa kota lainnya di Provinsi Riau, seperti Kuala Enok, Indragiri Hilir, dan Taluk Kuantan, serta Kuantan Singingi, buku kumpulan puisi tersebut juga berisi karya-karya penyair dari Jambi, Padang (Sumatera Barat), Meulaboh (Aceh), dan Medan (Sumatera Utara). Selain itu, terdapat juga hasil karya para penyair dari Makassar (Sulawesi Selatan), Bogor, Bekasi, dan Cimahi ( Jawa Barat), serta Ambon (Maluku).

Buku ini tidak hanya dipenuhi puisi-puisi hasil karya para penyair perempuan kawakan, seperti Rosni Idham, Azwina A, dan D Kemalawati, buku yang sama juga diwarnai oleh penyair-penyair muda asal Pekanbaru, seperti Qori Islami Abeba dan Budy Utami, yang karyanya kerap dimuat di beberapa harian nasional Indonesia, termasuk Kompas.

"Mereka memang berada pada geografis yang berjauhan, namun sebenarnya mereka berada pada geokultural yang sangat dekat sehingga hasil karya ini bisa terwujud," kata Al azhar.

Memang! Kedekatan itu sedekat kepedihan kita pada rakyat Aceh yang tengah berduka.

(Kompas, 13 Mei 2003/ Orin Basuki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar