Header


Selasa, 28 Desember 2010

Tentang buku-buku Lapena copas blog Sawali Info


Beberapa hari yang lalu, sahabat saya D. Kemalawati, sastrawati Aceh yang sudah menerbitkan banyak buku, baik esai, puisi, cerpen, maupun novel, mengirimi saya 8 buah buku yang tak ternilai harganya buat saya.
Pertama, “Pembelaan Seorang Guru: Sepuluh Pembelaan”. Buku ini memuat 10 artikel yang berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan. Melalui artikel-artikel tersebut makin terbukti bahwa Mbak Kemala –demikian saya biasa menyapanya– bukan seorang “guru kurikulum” yang hanya menjejalkan dan men-transfer ilmu kepada peserta didik, melainkan seorang guru inspiratif dan kreatif, yang sanggup “mengawinkan” antara science dan seni. Ia yang seorang guru Matematika SMK 2 Banda Aceh, ternyata sangat piawai merawi kata menjadi adonan teks sastra yang indah dan eksotis. Lewat buku ini, Mbak Kemala mencoba mengkritisi dunia seorang guru dan berbagai persoalan pendidikan yang kian rumit dan kompleks.
Simak saja suara kritisnya berikut ini: “Lihatlah betapa mudahnya masyarakat menganggap guru bermental bobrok hanya karena meniadakan proses belajar-mengajar dalam rangka menuntut hak mereka yang mestinya telah dipenuhi dua tahun yang lalu … Sebenarnya yang berhak mendapat julukan tak bermoral itu adalah mereka yang bersekongkol menilep uang kesejahteraan yang menjadi hak guru. Uang kesejahteraan guru yang tak lebih dari uang jajan bagi anak seorang wakil rakyat (kata mereka sendiri yang punya kursi di parlemen) atau bagi seorang anak pejabat yang hanya cukup setengah bulan itu, harus ditunggu guru 7 bahkan sampai 12 bulan lamanya ….” (hal. 47-48). Hmm … suara kritis seorang guru yang bisa membuat merah telinga kaum elite, tak hanya di Aceh, tetapi juga wakil rakyat dan pejabat teras di negeri ini.
Kedua, novel “Seulusoh”. Dalam prolog dijelaskan bahwa awalnya hanya sebuah cerpen yang bercerita tentang seorang mahasiswi Akademi Kebidanan yang sedang magang di salah satu klinik bersalin. Ketika tsunami, ia bersama ibunya dan penduduk kampung tergulung dalam gelombang raya. Mereka mudah disapu ombak yang naik ke darat dengan kecepatan tinggi karena rumah mereka di daerah Lampulo, tak jauh dari bibir pantai. Tapi sang gadis tak selamanya tergulung di dalamnya. Ia terlempar ke atas dan menemukan seorang perempuan yang hampir melahirkan sedang mengejan di atas springbed yang melaju kencang dibawa arus. Hmm … membaca prolognya saja sudah menunjukkan bahwa teks novel ini sarat dengan konflik yang mengharukan. Novel ini mencoba mengangkat nilai-nilai kearifan lokal Aceh ketika dihadapkan pada sejumlah masalah hidup dan kehidupan.
Ketiga, kumpulan cerpen (kumcer) “Pada Tikungan Berikutnya” yang memuat 10 cerpen karya Musmarwan Abdullah, seorang PNS di Setdakab Pidie yang pernah menjadi Juara I Lomba Penulisan Cerpen Mahasiswa se-Aceh Balai Bahasa Aceh (2001). Keempat, “Menunggu Pagi Datang”, buku karya Sulaiman Tripa, sastrawan muda Aceh yang baru saja menulis novel “Malam Memeluk Intan”. Buku ini berisi 5 cerita dan sedikit catatan yang luar biasa lantaran ditulis dalam Bahasa Aceh dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sebuah upaya dan terobosan jitu untuk memperkenalkan seni dan budaya Aceh hingga ke aras global.
Kelima, antologi puisi “Metafora Birahi Laut” karya Dino Umahuk, sastrawan kelahiran Maluku Utara, 1 Oktober 1974. Buku setebal 169 dengan pengantar D. Kemalawati ini memuat puluhan puisi karya Dino yang sebagian besar karyanya sudah tersebar di berbagai media massa, termasuk di blog pribadinya, www.birahilaut.multiply.com. Keenam, antologi puisi “Garis” karya Wina SW 1, penyair dan dosen Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, yang telah melahirkan ratusan puisi. Diksinya bernas dan terjaga cukup apik dan rapi. Ketujuh, bunga rampai puisi “Lampion” karya 18 perempuan penyair Aceh dengan gaya tutur yang khas sesuai dengan karakternya masing-masing.
Kedelapan, antologi puisi “Aku, Bola, dan Sepatu” karya Fathurrahman Helmi. Ia tergolong penyair muda bertalenta hebat. Darah penyair agaknya didapatkan dari ibundanya, D. Kemalawati. Ia yang lahir di Meulaboh, Aceh Barat, 21 Juni 1995, sudah mampu melahirkan beberapa puisi yang bisa dikatakan telah “melampaui” batas pemikiran anak sebayanya. Kepekaannya dalam menangkap fenomena keseharian yang terjadi di sekelilingnya bisa menjadi modal yang cukup buat dia untuk menjadi seorang penyair hebat. Simak saja salah satu puisinya berikut ini:
Bumi
Aku di sini terpaku
menatap tanah yang tandus
bumi ini sedang sakit
akibat ulah manusia
anggap saja bumi ini bagai manusia
makin tua makin keriput
Ya, ya, gaya ungkapnya jujur dan sederhana, khas anak belasan tahun. Namun, kepekaannya dalam menangkap fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya membuat Fathurrahman memiliki “nilai tambah” tersendiri seiring dengan perjalanan usianya. Bukan mustahil, kelak namanya akan tercantum sebagai penyair besar pada zamannya.
Terima kasih Mbak Kemala atas kiriman buku-bukunya; buku-buku yang menggambarkan nilai-nilai lokalitas Aceh yang pasti akan mampu memperkaya khasanah seni dan budaya di negeri yang multikultur ini.

catatan 29 Desember 2010

KESAKSIAN HATI
Puisi D Kemalawati

Inilah magma merah kenyal dan basah
berisi selaksa gundah
tak tertampung kawah sajadah

Banda Aceh, 29 Desember 2010

KESAKSIAN MATA
Puisi D kemalawati

akan kucoba
sebenar rasa
retina tak dusta
cahaya terangkan gulita
dalam magma prahara

Banda Aceh, 29 Desember 2010

Saat Kepedihan Aceh Terungkap Dalam Puisi




 
LESATAN peluru timah panas, kepulan asap, serta cucuran darah rakyat yang tidak berdosa, boleh jadi saat ini hanya terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Namun, di wilayah lain, kepedihan akibat dari konflik bersenjata itu juga terasa dalam pergelaran puisi dan peluncuran buku kumpulan penyair perempuan Indonesia, Kemilau Musim, di Bandar Serai, Pekanbaru, Sabtu pekan lalu.

Kepedihan dalam puisi-puisi karya Rosni Idham (50), penyair kelahiran Desa Sawang, Manee Barat, Meulaboh, Aceh. Puisinya berjudul "Siapa Menggagahimu", yang dituntaskan pada November 2000, terasa menyentak kesadaran akan kepedihan yang dirasakan warga Aceh ketika dibacakan oleh Rosni sendiri dengan seluruh penjiwaannya.

Simaklah bait-bait berikut:

Kasih
siapa menggagahimu di langit kemarau
menyeret bocah-bocah hijau
melukis luka dan nestapa di kanvas galau

Kasih
siapa menggagahimu di rimba rumput ilalang
jiwa dan jasad menggigil rapuh tak bertulang.

"Saya sangat bahagia bisa mengungkapkan berbagai kesedihan yang kami alami saat ini. Saya juga gembira karena mendapatkan kesempatan mengungkapkan kisah negeri yang terluka dalam pagelaran puisi ini," ujar Rosni saat mengawali pembacaan puisinya itu.

Menyusul kemudian, sebuah puisi Rosni lainnya yang bernapas sama, "Deru Ombak Suak Ujung Kalak", ditampilkan di atas panggung. Puisi yang bercerita tentang tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Tanah Rencong itu memang tidak dibawakan sendiri oleh Rosni. Pembacaannya dilakukan oleh penyair asal Riau yang juga adalah Direktur Akademi Kesenian Melayu Riau Taufik Ikram Jamil.

Keenam puisi hasil karya Rosni yang menjadi bagian dari Kemilau Musim tersebut menyiratkan penderitaan yang tanpa henti dialami oleh rakyat Aceh. Puisi-puisi tersebut menggambarkan secara jelas berbagai penderitaan rakyat Aceh. Bahkan, terucap kata tentang kisah cucuran darah tertumpah di tanah berjuluk Serambi Mekkah tersebut, seperti dapat disimak lewat puisi "Negeri Terluka I dan II", serta puisi berjudul "Kepada Ibu Pertiwi".

Penyair perempuan lainnya yang juga datang dari Meulaboh adalah D Kemalawati. Seperti halnya Rosni, salah satu dari lima puisi Kemalawati yang ada dalam Kemilau Musim dituntaskan pada saat konflik bersenjata di provinsi tersebut belum sampai pada penghujungnya. Puisi itu ia beri judul "Surat dari Negeri Tak Bertuan", yang ditulisnya di Banda Aceh, Juni 1999.

Baik Rosni maupun Kemalawati sama-sama mengungkapkan, pada saat pertikaian bersenjata tengah meningkat di Aceh, mereka memerlukan lebih banyak keberanian untuk bisa berangkat dari Meulaboh hingga sampai di Pekanbaru. Namun, kata mereka, keinginan untuk mengungkapkan kesulitan dan penderitaan rakyat Aceh melalui puisi lebih kuat dibandingkan hambatan yang ada di sepanjang perjalanan dari Meulaboh menuju Pekanbaru.

"Meski sama sekali tidak nyaman selama dalam perjalanan, namun telah menjadi kenikmatan tersendiri untuk mengungkapkan kesedihan teman-teman kami di Aceh melalui puisi di Pekanbaru ini," kata Kemalawati.

PUISI-puisi Rosni dan Kemalawati memang hanyalah bagian kecil dari 238 puisi lainnya yang disusun apik dalam buku kumpulan puisi penyair perempuan Indonesia itu. Terdapat 51 penyair perempuan yang berasal dari 23 kota yang berbeda di Indonesia untuk bergabung dalam buku hasil karya Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru (HPSBP) itu.

Ketua HPSBP Herlela Ningsing mengatakan bahwa buku kumpulan puisi tersebut merupakan bagian dari serangkaian buku sejenis yang sudah dan akan diterbitkan oleh perhimpunan penyair perempuan Pekanbaru. Setahun mendatang, sebuah buku kumpulan puisi lainnya akan diterbitkan dengan cakupan yang lebih luas, yakni kumpulan puisi dari para penyair Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

"Kemilau Musim ini adalah hasil karya kami yang ketiga. Sebelumnya sudah diterbitkan dua buku kumpulan puisi, yakni Musim Berganti yang merupakan kumpulan puisi penyair perempuan se-Pekanbaru, serta Musim Bermula yang merupakan kumpulan puisi hasil karya penyair se-Sumatera," kata Herlela.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Pelaksana Harian Yayasan Bandar Serai Ali Haji Pekanbaru Al azhar mengatakan bahwa buku kumpulan puisi tersebut merupakan hasil karya yang langka. Hal tersebut dimungkinkan sebab upaya untuk mengumpulkan hasil-hasil karya puisi dari para penyair yang berbeda tempat itu bukan merupakan pekerjaan yang mudah.

Selain dari Pekanbaru serta beberapa kota lainnya di Provinsi Riau, seperti Kuala Enok, Indragiri Hilir, dan Taluk Kuantan, serta Kuantan Singingi, buku kumpulan puisi tersebut juga berisi karya-karya penyair dari Jambi, Padang (Sumatera Barat), Meulaboh (Aceh), dan Medan (Sumatera Utara). Selain itu, terdapat juga hasil karya para penyair dari Makassar (Sulawesi Selatan), Bogor, Bekasi, dan Cimahi ( Jawa Barat), serta Ambon (Maluku).

Buku ini tidak hanya dipenuhi puisi-puisi hasil karya para penyair perempuan kawakan, seperti Rosni Idham, Azwina A, dan D Kemalawati, buku yang sama juga diwarnai oleh penyair-penyair muda asal Pekanbaru, seperti Qori Islami Abeba dan Budy Utami, yang karyanya kerap dimuat di beberapa harian nasional Indonesia, termasuk Kompas.

"Mereka memang berada pada geografis yang berjauhan, namun sebenarnya mereka berada pada geokultural yang sangat dekat sehingga hasil karya ini bisa terwujud," kata Al azhar.

Memang! Kedekatan itu sedekat kepedihan kita pada rakyat Aceh yang tengah berduka.

(Kompas, 13 Mei 2003/ Orin Basuki)

Senin, 27 Desember 2010

PAGI SAKSI SEJATI

D Kemalawati

Pagi  dayang hati
kutinggalkan peraduan dan hangat kelambu
seteguk kopi mengapung dalam redup degup
pahit sisa mimpi kubawa telusuri hari

Selanjutnya klik di sini

Sabtu, 25 Desember 2010

NYANYIAN MANUSIA - NYANYIAN SEORANG HARUN AL RASYID

oleh Djazlam Zainal pada 26 Desember 2010 jam 11:58
 
 
Aceh bukan sahaja menemukan saya dengan segala penderitaannya tetapi juga segala ketangguhan manusianya. Antara manusia tangguh itu ialah Mohd. Harun al Rasyid, seorang sarjana, seorang penyair dan seorang da'i yang diuji Allah akan kekuatan imannya. Harun al Rasyid adalah saksi mata dan saksi derita ketika tragedi tsunami 6 tahun lalu. Isteri dan kedua orang anaknya turut hilang dalam musibah tersebut. Ikutilah rintihannya.

Tiga tahun lalu
ayah tinggalkan engkau, sayang
dalam kabut bandara Sultan Iskandar Muda
kulihat engkau melambai dengan sepuluh jari
petanda kita akan segera berpisah
ayah pergi merenangi samudra ilmu
engkau tinggal dalam ketulusan hati sang ibu

Tiga tahun lalu, sayang
ayah tinggalkan engkau menjulang ulang tahun ketiga
kasihku bertaburan antara Banda Aceh-Malang
kadangkala kupungut enam bulan sekali
lalu kutaburkan dalam kolam hatimu yang riang

Sekarang
sekarang ayah tinggal sendirian
menghitung senyummu yang mengambang
menghitung hobimu untuk berenang
mengeja bibirmu mengeja firman Tuhan:
" segala puji bagi Tuhan semesta Alam "
dan teringat tanganmu menuliskan catatan harian
selama di Malang dalam Ramadan dan Lebaran

Tiga tahun lalu, sayang
bukanlah sekarang
sekarang adalah kenangan
dulu adalah harapan

Tiga tahun lalu, sayang
engkau minta sebuah ranjang
engkau dambakan sebuah almari pakaian
dan cermin kusus untuk berdandan
ayah telah menunaikan padamu
dua pekan sebelum tsunami, 13 desember 2004
saat ayah harus pergi lagi menamatkan

Anakku, damailah ruhmu dalam kebahagiaan
selamat berdandan di sisi Tuhan
memilih gaun ulang tahun di almari
dan merebahkan jasad di ranjang dambaan

Andai engkau telah pergi berkelana di taman Tuhan
ayah ucapkan selamat jalan anakanda tersayang
jangan lagi berpaling ke belakang
kerana ayah telah ikhlaskan
kita bertemu di yaumil mahsyar

Pidie, 31 Januari 2005

( Kenangan Dalam Keikhlasan -  bagi Inong Nabila Harza dalam kumpulan Ziarah Ombak, Lapena, 2005. hal. 79 )

Puisi di atas adalah keluhan hiba Harun terhadap kehilangan yang tiba-tiba. Selain isteri, anak dan semuanya ditelan tsunami termasuk puisi-puisinya. Namun ditakdirkan, puisi yang terkumpul dalam kumpulan puisi Nyanyian Manusia ini terselamat oleh alm. isterinya yang memindahkannya ke Sigli, Aceh pada tahun 2001. Dan dibawa ke Malang pada tahun 2002 kerana di situlah Harun menghabiskan masanya ketika kuliah. Kerana terselamatnya puisi-puisi tersebut, terabadilah Nyanyian Manusia seperti yang sedang anda nikmati.

Harun adalah seorang yang mempunyai kepedulian yang tinggi sebagai manusia seterusnya sebagai penyair. Penyair@ sarjana ini memang sejak awalnya sangat tajam penumpuannya terhadap masyarakat. Perjalanan hidup manusia adalah suatu yang mistri yang tak mampu manusia prediksikan, hanya Allah yang mengetahui seisi alam dan kejadian. Mulanya Harun menuangkannya dalam puisi-puisinya yang religi, filsafat, yang estatik dan beretika. Manusia-manusia Aceh tumpuan puisinya yang akhirnya menguatkan hasratnya menjadi disertasi doktoral yang membawanya ke gerbang Doktor ( Dr. ) Lihatlah bagaimana Harun menanggap.

duka menggelepar-gelepar
di tanah kelahiran manusia
dibakar matahari
tak henti

ibu, lihat itu mata bulan
terluka
bumi penuh air mata

o, dalam risau yang menggalau
senjata-senjata gagal mulutnya
menyalak di mana-mana
menggigit angin
udara
sisa-sisa sepi
dan keluh kesah yang bermekaran

( Nyanyian Anak Bumi, hal. 2 )

Lebih 10 buah puisi awalannya dijodolkan dengan Nyanyian. Bagi Harun, nyanyian adalah ulah manusia yang mengamati kehidupan. Antaranya, Nyanyian Dari Kerajaan Semut, Nyanyian Melelawar, Nyanyian Nyiur Selatan, Nyanyian Bocah Afrika Hitam, Nyanyian Anak Kolong dan lain-lain. Dalam Nyanyian Kolong, Harun menulis,

ma
masih adakah mentari
menghiasi cakrawala
masih adakah rembulan
masih adakah gemintang
sebagai boneka hari esok?

Harun melihat seluruh ruang maya pada. Semua gelodak jiwa manusia disentuhinya. Puisi dijadikan cermin kehidupan masyarakat yang sentiasa berkembang mengikut waktu. Masyarat juga diindikasikan kepada dirinya juga. Lihatlah bagaimana Harun menempiaskan kekosongan hatinya kepada Nora, Inong dan Agam ( isteri dan anak-anaknya )

semakin mendalam saja harum itu
mengelopak dalam lingkar kelopaknya
mengembang dalam gerimis kasih

aku ingin mengintai dan bersandar
pada harum itu
yang makin harum
dalam kuntum
...
aku ingin larut dalam gelombang itu
membenam harum
mendendang kasih

( Nostalgia Di Ruang Sempit, hal. 22 )
Puisi ini ditulis tanggal 10 desember 2004, dua minggu sebelum Harun dikabarkan dengan tsunami yang menghaibkan Nora, Inong dan Agamnya dalam sepi. Betapa keterharuan itu mencengkam hatinya, namun keredaan harus juga disandarkan. Oleh itu puisi Aku Bangkit dibangunkan pada 22 April 2005, empat bulan setelah Harun mengalami kecederaan yang parah.

aku anak adam yang terajam bencana
hari ini aku bangkit menganyang duka lara

sisa-sisa kesedihan yang terlanjur membeku
kusingkir dengan semangat baru

Harun menerima pertolongan Allah melalui sahabat-sahabatnya. Sahabat memotivasi dan menyahabatinya penuh kasih. Di sinilah Harun mengerti bagaimana harus kembali menjadi manusia. Lihatlah bagaimana ia mengisytiharkan kesembuhannya.

lihatlah kawan!
aku telah sembuh dari luka derita
kini tersenyum kembali dalam suka cita

Ya, Harun al Rasyid telah kembali menjadi penyair yang lebih kukuh dari sebelumnya. Derita mengajarnya menjadi lebih dewasa.


*Djazlam Zainal, Kritikus sastra tinggal di Melaka

D Kemalawati, Dimas Arika Mihardja, Djazlam Zainal di Rumah Cut Nyak Dien


D Kemalawati

DI RUMAH CUT NYAK DIEN

Di atas papan penyangga yang mulai lapuk
kujenguk perigi
kudengar kata dayangmu
tentang permukaannya yang tinggi
agar tetap suci tak teracuni

banyak yang membasuh muka
dengan dingin airnya
setelah suci mengirim doa
agar parang lanting, parang singrong
siwah, rencong, tombak panah tak lagi berderak
menumpah darah resah

di rumoh dhapu
saat melintas menuju peraduanmu
kilatan mata Van Huetz menyelidik siasat
kupotret terburu
biarkan dia di sana
seperti apa bara memercik api
telah terhunus di ujung belati

di beranda depan tempatmu menerima tamu
kutemukan sofa berukir melati
harum jemari bertaut tuah Ilahi
kulihat Teungku Chik Tiro berdegup hati
menyatakan buah hati
dalam ikatan suci

di tangga hitam kupaling wajahku
jejakmu hilang setelah Cut Gambang
di seberang dirimu tertawan
di dalam tubuhku
gelora jiwamu terus berenang

Banda Aceh, 25 Desember 2010


Dimas Arika Mihardja 

RUANG LENGANG ( CUT NYAK DIEN )

Dalam rangkaian ' Ziarah Cinta ' jelang 6 tahun tsunami,
 saya bersama D Kemalawati, Helmi Hass dan Djazlam Zainal 
bersiarah di rumah Cut Nyak Dien. Berikut ini buah ziarah itu
tertuang dalam karya D Kemalawati dan DAM. Kita sandingkan
puisi sebagai buah interpretasi dalam momentum puitis


di tangga kayu kujenjang rumahmu
aku ingin menyusup di dada: bismilahirohmanirohim
saleum, maaf bukan maksud mengusik tidurmu yang nyenak Cut Nyak

kulangkahkan kaki masuk ke beranda dadamu
aku ingin menyusup di rimbun sanggul rambutmu
dan menyusu di montok dadamu

di depan pembaringan kulihat bayang berkelibat
saat jemari menulis puisi: pedang, parang, kelewang
menegang di dinding rumahmu, kilau matanya tajam
menghunjam rasa penaku menjelma tombak
meneteskan darah di luas sejadah

< ruang tunggu bandara Sultan Iskandar Muda, 25 Desember 2010 >



 Djazlam Zainal

MEMBAYANGKANMU CUT NYAK DIEN
( ziarah dari jauh bersama de kemalawati, dimas arika mihardja dan helmi hass )

sebenarnya sunyi sepi hatiku
ketika rumah gadang itu merontokkan sukmaku
siapa kamu 100 tahun dulu yang bertamu
mengalas kekuatan kudrat pertiwi
melumpuh kekuatan soldadu
bertubuh raksasa
berhati sejuta garuda

di pertapakan sejarah ini
kamar istirahat dan bilik musyuarah
lading, rencong dan garit bergeming
terseludup rahasia silam
bukit-bukit berletupan senapan peperangan

melewati serambi rumah ini
dadaku ada kamu yang semadi berahap sepi
darah dan nyawa digarap buat pertiwi

Melaka 25 Desember 2010