Header


Kamis, 23 Juni 2011

MENULIS KEADILAN DI DINDING ABU


D kemalawati

Aku bukan jemu
Tapi kehadiranmu yang  memenuhi dinding kaca
Dan dibaca hanya seperti kesumba di bibir, sesaat saja

kau pun mencangkul sendirian
Lalu seperti halimun di ujung ladang
 kau tetap sendiri terpinggir dan terusir

Kesepian dalam waktu lama mengajarkanmu
Melupakan rumah teduh dengan cermin terang
berkaca kejujuran

aku tak mengatakanmu sia-sia
seperti diriku yang pernah membaca
tapi setelah arang
kita adalah abu melayang hilang

Banda Aceh, 17 Juni 2011


 

Rabu, 22 Juni 2011

KEMBANG-KEMBANG LILA DI TEPI KOLAM


D Kemalawati


Kolam ikan berlumut di depan rumah pagi ini dipenuhi air. Semalam hujan deras. Di sudut kiri halaman , Kemboja merah terlihat  segar. Beberapa tangkai bunganya mengembang sempurna. Di samping kanannya, bunga-bunga berbentuk terompet  berwarna lila tua juga merekah diantara  cabang-cabang  kurus coklat kehitaman. Cabang-cabang beruas itu   kelihatan mengangkang dengan daun-daun hijau runcing memanjang, dibalut butiran tanah basah .
Di dekat kolam, dahan Bogenvil yang dipenuhi bunga berwarna lila muda, dan beberapa helai daun  terlihat merunduk. Di sela Bogenvil  yang tumbuh subur karena akarnya kurasa  menghisap air kolam berlumut itu,  juga menjuntai beberapa tangkai bunga Anggrek. Ada dua jenis  Anggrek yang tumbuh di sana. Kedua-duanya sedang berbunga.  Dan bunga itu juga berwarna Lila.
Diantara kolam dan teras yang luasnya tak lebih tigapuluh sentimeter , bunga-bunga terompet yang lebih kecil dengan daun  bersusun  rapat merimbun menutupi tanah. Ukuran pohonnya yang hanya sejengkal dari tanah  itu seolah-olah bagian dari lantai teras yang bersambung dengan batu-batu gunung yang sengaja dibentuk senyawa dengan kolam. Dulu, kolam itu begitu terawat. Ikan-ikan berkejaran dengan riang di antara  air mancur yang seperti gerimis hujan  di tengah kolam. Aku baru sadar kalau bunga-bunga berbentuk terompet di sekitar kolam kecil itu juga berwarna Lila. Apakah aku harus menyebut bunga terompet mini kepada bunga lila yang mekar di tepi kolam? Ah,  aku tak mengenal  jenis, nama serta tabiat bunga itu dengan baik. Dan ternyata juga selama ini, aku luput mengenali bunga-bunga dan pohon-pohon yang tumbuh di halaman rumahku sendiri. 
Tapi pagi ini, perhatianku jatuh pada Bogenvil lila yang  merunduk itu. Mungkin hujan deras semalam masih menyisakan beban air di kelopak sesaknya. Aku jadi ingat mama. Mama suka memotret kembang-kembang  yang baru disiramnya di halaman. Ini bunga-bunga di halaman kita, Pa. Kata mama suatu pagi. Di layar hape mama terlihat tiga kembang Kemboja  merah  kesumba. Dua tangkai berpilin di atasnya dan beberapa daun hijau kuat sungguh membuat foto tersebut kelihatan sangat indah dan artistic. Papa memperhatikan gambar itu  dan mengatakan kalau kamera di hape mama lumayan bagus. Jelas terlihat bening air  membekas di helai-helai kelopak yang berjumlah lima.  Pasti tak ada yang ada yang menduga foto itu hasil bidikan Mama. Komentar Papa membuat senyum  Mama mengembang lama. Tak ada  senyum  mengembang  di wajahmu tadi, saat aku menyalaminya. Sungguh sangat tak nyaman melihatmu  kusut sepagi ini.
Seandainya aku memiliki mesin waktu seperti yang kubaca di buku-buku cerita dan kutonton di film-film di layar telivisi, aku akan kembali ke kemarin pagi. Akan kutulis namaku di kanan atas lembar folio yang berisi cerpen karyaku. Lalu mengumpulkan  ke salah satu juri , memeriksanya apakah aku menyatukannya dengan cover  yang  telah kusiapkan sebelumnya. Akan kupastikan ketika juri tersebut mengambil karyaku, covernya ikut  yang bertuliskan nama dan asal sekolahku terbawa serta. Aku ingin menjadi juara pertama  menulis cerita. Tujuanku satu,  mewakili kota ke tingkat propinsi. 
Setahun yang lalu aku kalah bersaing dengan juara satu.  Menurut juri yang memberitahu pendampingku, tulisanku kurang rapi,  ada beberapa coretan. Aku sudah melatih diri untuk menulis lebih rapi, mengurangi bahkan berusaha tanpa coretan sama sekali. Aku makin rajin membaca  kumpulan cerpen baik yang ditulis oleh cerpenis negeri sendiri atau terjemahan. Ada beberapa cerpen dalam antologi cerpen pemenang Nobel yang sering kubaca-baca ulang. Aku juga mencari muatan local yang mungkin bisa kumasukkan dalam cerpenku seperti kebiasaan orang-orang memasak  Sie Reuboh di hari menjelang bulan Ramadhan. Menurut guru pembimbingku dengan memasukkan muatan local dalam cerita  akan  membuat karyaku menjadi lebih berbobot.
Dalam menulis aku sama sekali tak dibimbing Mama. Padahal Mama sering diundang mengisi workshop menulis cerpen di beberapa lembaga juga di Balai Bahasa kotaku. Mamaku seorang Sastrawan  dan sering menjadi juri. Tapi aku tak ingin menjadi fotokopi Mama dalam berkarya. Aku juga tak pernah meminta Mama menilai karyaku. Aku harus jadi diriku sendiri.
Ketika aku hanya memperoleh juara dua, dan tak berhak mewakili kota banda Aceh tahun lalu, Mama mengatakan  menjadi juara 2  juga sudah bagus. Sudah membuktikan bahwa aku memang berbakat.  Karena menurut Mama  menilai  karya sastra tidak sama dengan menilai matematika. Menilai karya sastra adalah menilai dengan rasa sedang menilai matematika menggunakan rumus dan logika, hanya ada benar dan salah. 
Mengenai rasa tentu tak lepas dari selera dan masih menurut Mama tak selamanya juri yang ditunjuk untuk menilai karya sastra, adalah orang-orang  yang  memiliki selera  bagus dalam bersastra.  Mereka mengikuti perkembangan sastra,   memiliki karya yang bisa kita ukur,  pernah menulis  esei sastra,  mengulas karya sastra apalagi kalau mampu menulis kritik sastra.
Waktu itu aku tak kecewa. Aku masih punya harapan untuk tahun ini. Mama juga tak mempermasalahkan  kenapa juri lebih mementingkan  tulisan rapi dari pada karya yang bagus. Aku melihat mata  Mama berbinar indah saat itu. Senyumnya mengembang. Dan aku yakin  telah membuat Mama bahagia dengan keberhasilanku meski hanya  juara dua.
Mama juga menyambut kepulanganku dengan mata berbinar dan senyum bahagia,  setelah Papa yang menjemputku dari hotel tempat dimana kami berlomba  mengabarkan aku juara tiga Duta Sanitasi. Mama mengucapkan selamat dan memelukku bahagia.
“Sudah terbukti anak kita tidak hanya mampu menulis fiksi tapi juga non fiksi.”
“Sebenarnya anak kita juara dua, Ma. Tapi menurut pembimbingnya, ada juri keberatan  kalau yang akan dikirim ke Jakarta mewakili Aceh dua-duanya dari sekolah mereka. Maka anak kita dikorbankan.”    
“Belum langkah anak kita, Pa. Suatu saat ia akan sampai juga ke sana. Dulu mama juga selalu menjadi korban. Kita ambil hikmahnya saja.”
Aku mendengar percakapan Mama dan Papa dari dalam kamar. Kenapa Mama bisa menerima begitu saja kalau beliau selalu dikorbankan. Pernahkah Mama protes ketika Mama tahu dirinya dizalimi. Kenapa juri yang melibatkan imajinasi tidak sama cara menilainya dengan juri yang melibatkan angka. Kenapa harus ada pertimbangan tak enak kalau harus mengirimkan dua peserta dari sekolah yang sama. Duh, Mama. Andai Mama bisa merasakan apa yang aku rasakan saat itu. Andai Mama tahu bagaimana aku berupaya mencari bahan tulisanku berhari-hari, berminggu-minggu lamanya sejak guru pembimbingku mengirim namaku sebagai peserta. Tidak ingatkah Mama ketika dalam keadaan sangat lelah dirimu terpaksa menyetir mobil mengantarkanku ke pustaka wilayah untuk mencari bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan sanitasi. Mama, kenapa hal yang pernah menimpamu kini kurasakan pahitnya. Apakah karena Mama sering menjadi juri, Mama tak perlu mendengar kabar-kabar miring penyebab kekalahan anaknya.
Mama baru percaya kalau aku telah dikorbankan setelah bertemu dengan salah seorang juri Duta Sanitasi beberapa bulan kemudian. Ternyata Mama kenal dengan juri tersebut dan dalam perbincangan singkat tanpa sengaja Mama bercerita kalau anak-anaknya juga sudah mulai kelihatan bakat menulisnya. Mama mengatakan bahwa selain menulis fiksi, aku anaknya juga telah membuktikan mampu menulis artikel dengan memperoleh juara tiga Duta Sanitasi. Teman Mama itu terlihat kaget ketika Mama mengatakan apa yang dikatakan pembimbingku bahwa semestinya aku juara dua.
“Benar Kak,” kata Juri yang Mama sebut bernama Arum. “Menurut  saya dan hasil rekap penilaian semua juri,  juara satu dan dua itu dari sekolah yang sama. Dan karya mereka berdua benar-benar bagus. Tapi karena akan dikirim mewakili daerah, maka ada seorang juri yang lebih senior  bersikeras tidak boleh kedua-duanya dikirim dari sekolah yang sama. Saya sama sekali tidak tahu kalau yang akhirnya juara tiga itu adalah anak kakak. Selaku juri, saya sudah berkeras mempertahankan haknya sebagai juara dua. Saya tak bisa berbuat banyak karena yang lain tak bersuara meski sesuai nilai, anak kakak berhak mewakili daerah.”
Mama menceritakan apa yang didengar dari temannya itu padaku dan juga kepada Papa. Tak ada kemarahan dalam nada ceritanya. Semua sudah terjadi, kata Mama.
Mama bukan tak percaya apa kata guru pembimbingku. Menurutnya memang tak pernah ada criteria penilaian seperti itu. Dan bisa saja itu analisa pembimbingku karena beliau memang yakin karyaku bagus. Tapi Mama, bukankah asap itu ada kalau ada api. Dan  kebenaran itu telah terungkap,  meski tak akan merubah apa yang telah menjadi keputusan.
Sebenarnya mudah saja Mama melacak siapa juri yang menilai aku dalam setiap perlombaan. Tapi Mama tidak pernah melakukannya. Mama malah tak pernah mengantarku ikut lomba. Mama tak ingin kehadirannya mempengaruhi penilaian terhadap karya anaknya.
                Aku memandang air kolam yang kelihatan lebih bersih dari biasa. Hujan yang mengguyur deras tadi malam telah membuat air kolam yang  keruh, melimpah menyusup sela-sela batu kecil menggenangi halaman. Aku mencari-cari ikan sapu-sapu yang biasanya menempel di dasar kolam. Tidak ada. Mungkin sedang bersembunyi kekenyangan di lekukan-lekukan batu yang sengaja dibentuk seperti rongga-rongga dalam goa.  
                Matahari belum kelihatan. Tapi langit berwarna terang. Tak ada mendung bergayut. Awan putih serupa asap tipis samar-samar melayang jauh. Aku harus segera berangkat. Ujian semester memang sudah selesai. Aku harus memastikan apakah semua mata pelajaranku tuntas, tak ada remedial. Ada yang lebih utama selain kekalahanku dalam lomba menulis cerpen kemarin. Aku tak boleh mengecewakan Mama dan Papa dengan nilai-nilai raporku sehingga rangkingku jauh terpuruk.
                Menjelang siang sms dari Mama masuk ke inbox hapeku. Mama memberiku alamat sebuah media online untuk kubuka di internet. Aku tak membalas Mama. Aku masih menyesali  kenapa lupa menulis nama di lembar karyaku. kenapa aku tak berfikir meski sudah membuat cover dan memasukkan karyaku ke dalamnya supaya tak tercecer, aku tetap harus menulis namaku di kanan atas halaman pertama. Aku benar-benar tak mau membaca apapun saat ini. Pertengkaran Mama dan Papa menjelang dini hari tadi  mengganggu pikiranku. Mama  menyesalkan sikap Papa yang tak memihak padanya.
                “Ya, kenapa anak kita tak menulis nama? Itu kesalahan dia. Tak ada alasan tidak  menulis nama pada  karya yang sudah ditulis.” Suara Papa terdengar meninggi setelah mendengar penjelasan Mama alasan kenapa aku hanya juara dua.
                  Pernahkah Papa lupa sesuatu padahal itu sangat penting?” Suara Mama lebih tinggi. “Tak masalah kalau menurut penilaian juri karyanya tak layak menang.  Tapi alasan kekalahan itu yang Mama persoalkan.”
Beberapa saat mereka saling berargumen dengan suara tinggi. Mereka tak pernah seperti itu. Mungkin Papa sangat lelah. Seharian diluar rumah dan  aku baru mendengar suaranya setelah jarum jam melewati angka dua belas. Papa baru pulang.  Ingin rasanya aku keluar kamar mendamaikan mereka,  dan mengatakan aku menerima kekalahan itu karena aku lupa menulis identitas. Tapi tidak. Aku tak biasa ikut campur perbincangan orangtua.
                Masih terbayang  Mama duduk di ruang tamu sambil terus menerus mengetik di hapenya,  pagi tadi. Mukanya benar-benar kusut dan lelah. Mungkin semalam setelah masuk kamar Mama menuangkan kekesalannya dengan menulis. Papa juga kusut. Beberapa kali kudengar mereka berbicara. Kelihatannya Papa sudah memahami persoalan dan mendukung Mama. Tapi mereka tak sehangat biasa. Sekarang aku tahu apa yang diketik Mama di hapenya. Ya, mama sudah mengkritisi pelaksanaan lomba yang amburadul kemarin. Semua masukan dari juri dan ibu pendampingku pasti menjadi bahan bagi Mama untuk menulis dan mengirim ke teman-teman medianya. Mama yang selalu berlapang dada menerima kekalahan hari ini terlihat meradang. Ternyata ketika Mama meradang, aku benar-benar merasa kacau, sedih tak mengerti harus berbuat apa. Dulu aku pernah berharap Mama mengkomplain juri yang berlaku tidak adil. Tapi sekarang aku malah ingin Mama berdiam diri dan melupakan kegagalanku.
                Aku menutup opera mini setelah membaca tulisan “Cerpen Sie Reuboh Abah Juara Tapi Kalah” di hape Mama. Semua sudah jelas disana. Ketua juri yang menelpon Mama kemarin untuk memastikan judul karyaku, mengatakan di media itu kalau dia memberi nilai tertinggi  untuk karya yang tak ada identitas. Guru pendampingku menjawab wartawan yang mewancarainya, mengatakan bahwa salah seorang juri setelah pengumuman memberitahu beliau sebenarnya juara satu lomba menulis cerpen  adalah aku, tapi karena tak menulis nama maka mereka sepakat untuk tidak memilihku sebagai juara pertama.  Mama tak membahas isi berita. Tapi Mama membahas senyum dan mata sipitku  dalam foto di bawah judul berita itu. Senyum dan mata sipit yang sama yang kulihat di wajahnya.
Di layar hape Mama kulihat Anggrek Lila beberapa tangkai berjuntai indah. Anggrek yang menyeruak di sela-sela Bogenvil yang tumbuh subur di dekat kolam. Ah, kolam itu. Aku akan mengajak adik dan abangku membersihnya dari lumut. Mengganti airnya sesering mungkin. Akan kutemukan ikan sapu-sapu yang lamban diantara ikan-ikan kecil lain yang saling berkejaran. Aku berjanji akan mencari tahu nama dan jenis serta tabiat  semua bunga-bunga berwarna lila di sekitar kolam. Juga bunga-bunga lain di pekarangan rumah dan di mana pun mereka tumbuh. Sebagaimana janjiku menjadi bunga mewarnai taman hati Mama.   

Banda Aceh, 7 Juni 2011
*Sie Reuboh : daging yang direbus disiram cuka dan beberapa bumbu lainnya.