Header


Senin, 31 Januari 2011

TAK DILINTASI

D Kemalawati

tak dilintasi
mengharap singgah
pagi menjadi siang
siang berubah malam
pintu separuh terbuka
berjaga-jaga
Selanjutnya klik di sini

Kamis, 27 Januari 2011

Tentang D Kemalawati

Nama                                      : D Kemalawati
Tempat/tanggal lahir           : Meulaboh, 2 April 1965
Agama                                    : Islam
Status                                     : Kawin
Nama Suami                          : Helmi Hass
Anak                                       :
  •   Fathurrahman Helmi (15 thn)
  •   Nadia Helmina (13 thn)
  •   Kemal Helmi (10 thun)

Pendidikan                            :
  •   SD Negeri 1 Rundeng, Meulaboh, (1978)
  •   SMP Negeri 1 Meulaboh (1981)
  •   SMA Negeri 1 Meulaboh (1984)
  •   S1 FKIP Pendidikan Matematika UNSYIAH, Banda Aceh(1988)
Pekerjaan                              :    
  •  Guru SMEA N Meulaboh (1990 - 1993)
  •  Guru SMKN 2 Banda Aceh (1993 s/d Sekarang)
Organisasi                             :
  •   Pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh (1998 s/d Sekarang)
  •   Divisi Penerbitan Lapena (2005 s/d Sekarang)
  •   Dewan pakar pada Dewan Kesenian Aceh (2010- sekarang)
Penghargaan                        :
  •   Juara I lomba Baca puisi FKIP Unsyiah tahun 1988
  •   Juara II Lomba Baca Puisi Udara radio Expo 70, tahun 1987
  •   Finalis lomba menulis cerpen tingkat guru bahasa Se Indonesia, 2004
  •   Anugerah sastra dari pemerintah Aceh, 2007

Karya bersama    :                              
  1.   Kemah seniman, (1990)
  2.   Nafas Tanah Rencong (DKA,1992)
  3.   Nuansa Pantai Barat, (LEMPA Banda Aceh, 1993)
  4.   Seulawah  (Yayasan Nusantara, 1995)
  5.   Dendam Airmata (kumpulan puisi DKB, 1998)
  6.   Aceh Mendesah Dalam Nafasku (KasuHa,1999)
  7.   Keranda-Keranda (DKB, 1999)
  8.   Musim Bermula ( Kumpulan puisi penyair Perempuan Sumatra,HBSBP2001)
  9.   Kemilau musim (kumpulan puisi penyair Perempuan Sumatra,HBSBP 2002)
  10.    Dalam Beku Waktu (Koalisi NGO HAM,2002)
  11.    Aceh Dalam Puisi (Syaamil,2003)
  12.   Putroe Phang (Kumpulan puisi dan Cerpen DKA,2004)
  13.   Gemilang Musim (kumpulan puisi Penyair Perempuan Nusantara, HPSBP 2004)
  14.   Lagu Kelu (kumpulan Puisi, ASA 2005)
  15.   Tsunami Note Book (Bumi Sehat, Bali, 2005)
  16.   Ziarah Ombak (Lapena Banda Aceh, 2005)
  17.   Aceh 8,9 Skala richter lalu Tsunami (Bangkit Aceh,2005)
  18.   Bunga Sakura (25 Cerpen terbaik Lomba Menulis Cerpen Guru, Dinas 2004)
  19.   Syair Tsunami (Balai Pustaka 2006)
  20.   Antologi Puisi Sempena (Seminar Kesusastraan Bandingan Antarbangsa, Malaysia 2007)
  21.   Lampion (Antologi puisi Penyair Perempuan Aceh, Lapena 2007
  22.   Medansastra (Kumpulan puisi, cerpen, drama dan esai sastrawan Sumatra, TSS Medan 2007)
  23.   Kutaraja Banda Aceh, (ASA, 2008)
  24.   Tanah Pilih, kumpulan puisi Temu Sastrawan I Jambi (Disbudpar Jambi,2008)
  25.   Antologi De Poeticas, kumpulan puisi Indonesia, Portugal, Malaysia, (Gramedia, 2008)
  26.   Pedas Lada Pasir Kuarsa, kumpulan puisi Temu Sastrawan II Bangka Belitung  (Disbudpar Bangka Belitung, Juli 2009)
  27.   Krueng Aceh, Kumpulan Puisi Aceh Literary Festival (Mata I Publishing, 2009)
  28.   Percakapan Lingua Franca, kumpulan puisi Temu Sastrawan III Tanjung Pinang (Disbudpar Kota Tanjung Pinang, 2010)
  29.   Dampak Meditasi 70 Kemala, kumpulan puisi Nusantara (Malaysia, 2010)
Karya Tunggal     :
  •  Surat Dari Negeri Tak Bertuan (Antologi Puisi, Lapena 2006)
  •   Seulusoh (Novel, Lapena 2007)
  •   Pembelaan Seorang Guru (Kumpulan tulisan, Lapena 2008)
Membaca karya  :
  1.  Penutupan Pesta Gendang Nusantara, Malaka 2002
  2.  Rumah Pena dan Muzium Seni Rupa Kuala Lumpur, 2005
  3.  Malam untuk Aceh di Ubud Reader and Writers Festival, Bali 2005
  4.  Peluncuran buku Ziarah Ombak di Universiti Kebangsaan Malaysia dan Pustaka Awam Negeri Perak, Malaysia 2005
  5.  Malam Apresiasi Sastra Sutardji Coulsum Bahri, TIM Jakarta 2007
  6.  Malam Apresiasi Kesusastraan Antarbangsa di Dewan Bahasa Kuala lumpur dan Hotel Sangriila Putrajaya, 2007
  7.  Malam Apresiasi Sastra Temu Sastrawan Se Sumatra di Medan, 2007
  8.  Piasan Sastra Aceh di Universitas Indonesia, 2007
  9.  Penutupan Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam, Banda Aceh, 2008
  10.  Jakarta Literary Internasional Festival, Jakarta 2008
  11.  Aceh Literary Festival, Banda Aceh, Agustus 2009
  12.  Peringatan Hari Ibu tingkat Propinsi, Banda Aceh 21 Desember 2009
  13.  Malam pembukaan Festival Nol Kilometer, Sabang Juli 2010
  14.  Temu Sastrawan Indonesia III, di Tanjung Pinang Oktober 2010
  15.  Malam Grand Launching Visit Banda Aceh Year (Balaikota Banda Aceh, 29 Januari 2011)
Pembicara                             :
  1.  Pada acara Piasan sastra Aceh (diselenggarakan di Gedung IX FIB Universitas Indonesia, 10 s.d. 13 Desember 2007)
  2.  Penyuluh dalam kegiatan Bengkel Sastra Balai Bahasa Banda Aceh ( 17 s.d. 19 April 2006)
  3.  Pelatih pada acara pelatihan Cerpen bagi Guru dan Siwa SMA/SMK se Banda Aceh-Aceh Besar. (Balai Bahasa, 3-5 April 2006)
  4.  Pembaca karya dalam acara Seminar Internasional Pekan Presiden Penyair Sutardji Coulsum Bahri. (Taman Ismail    Marzuki, Jakarta 14-19 Juli 2007)
  5.   Pada acara Temu sastrawan Se Sumatra di Medan, (Taman Budaya Sumatera Utara, 28-30 Desember  2007)
  6.   Penyuluh dalam kegiatan Pelatihan Penulisan Kreatif. (Balai Bahasa Banda Aceh, 5 s.d. 7 Februari 2007)
  7.   Pemakalah dalam kegiatan Bengkel Sastra (Balai Bahasa Banda Aceh, 6 s.d. 8 September 2007)
  8.  Pelatih pada Pelatihan Penulisan Karya Tulis Pemberdayaan Perempuan. (Biro PP Sekda NAD, 2-4 November 2007)
  9.  Narasumber pada acara Pemasyarakatan Perpustakaan dan Minat Baca. (badan Arsip dan Perpustakaan NAD, 6 Deseber 2008)
  10.  Pembicara dalam Seminar Peran Aktifis Perempuan Dalam Membangun Aceh Masa Depan. ( BEM UNSYIAH, 2 Mei 2010)
  11.  Pembicara dalam acara Festifal Nol Kilometer. (Tugu Nol Kilometer Sabang, 25 Juni 2010)
  12.  Host pada acara Ekspresi Seniman di TVRI (September 2010- sekarang)
  13.  Pembicara buku Burung-Burung Bersayap Air karya Penyair Dewi Nova (22 Januari 2011, Banda Aceh)

Pengamat / Juri   
  1.  Pengamat Karya Sastra (Gubernur NAD, 12 Agustus 2008)
  2. Pengamat Karya Sastra (Gubernur NAD, Agustus 2009)
  3. Pengamat Karya Sastra ( Dinas Kebudayaan NAD, 2010)
  4. Juri Lomba Bercerita (Badan Perpustakaan NAD, 2007)
  5. Juri Lomba Bercerita (Badan Arsip dan perpustakaan NAD, 2008)
  6. Juri Lomba Bercerita ( Badan Arsip dan Perpustakaan NAD, 2009)
  7. Juri Lomba Bercerita ( Badan Arsip dan perpustakaan NAD, 2010)
  8. Juri Baca Puisi Piala Maja sejak 2004 s.d.2008
  9. Juri Baca puisi Guru SD se NAD (Balai Bahasa, 2006)
  10. Juri Baca Puisi Guru SD se NAD (Balai Bahasa, 2007)
  11. Juri Festival Musikalisasi puisi II Tingkat SMA se-Sumatera (Balai Bahasa Banda Aceh, 2007)
  12. Juri baca puisi udara (Radio Binkara, 2007)
  13. Juri Baca Puisi Tingkat SD Porseni NAD, 2007)
  14. Juri Baca puisi tingkat SD Porseni Prop NAD, 2008)
  15. Juri Menulis Cerpen tingkat SLTP Porseni Prop NAD, 2009)
  16. Juri Baca Puisi IWAPI EXPO 2010 (Banda Aceh, Juli 2010)
  17. Juri Olimpiade Sastra Indonesia di Surabaya (Diknas,  November 2010)
  18. Dewan Kurator Temu Sastrawan Indonesia IV, (Ternate 2011)              
Mengeditori buku                :
  •  Ziarah Ombak (lapena, 2005)
  •  Selayang Pandang Sastrawan Aceh (Lapena, 2006)
  • Wanita Dan Islam (Lapena, 2006)
  • Meunasah di gampong kami (Lapena, 2006)

Pementasan
  •  Teater Hanya Satu Kali,  karya Anton Chekov. (Taman Budaya Banda Aceh, PKA, 1988)
  •  Hanya Satu Kali, Karya Anton Chekov (Auditorium RRI, 1989)
  •  Puisi Teateral ( Taman Ismail Marzuki, Jakarta 1989)
  • Teater Tanah Perempuan karya Helvi Tiana Rosa (Gedung Kesenian Jakarta, 9 November 2009)
  • Teater Tanah Perempuan karya Helvi Tiana Rosa (Auditorium RRI, 25-26 Desember 2009)

Moto: Berkarya hari ini menuai hasil di kemudian hari

Selasa, 18 Januari 2011

LIANG


Puisi  D Kemalawati

bagaimana menandai liang panjang dan pendek
kalau yang kau ukur hanya tubuhmu dan tubuhku saja
bagaimana menandai liang dalam dan dangkal
kalau yang  kau jengkal hanya tubuhku dan tubuhmu saja
bagaimana kau mengukur tubuhmu sendiri  Selanjutnya klik di sini

Minggu, 16 Januari 2011

4 PUISI DE KEMALAWATI DALAM KERANDA KERANDA




Keranda-Keranda adalah kumpulan puisi 25 penyair Aceh yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Banda Aceh dengan kerjasama ELSAM dan Koalisi HAM Aceh pada tahun 2000. Sambutan Ketuanya, Helmi Hass, Keranda-Keranda diterbitkan bagi mengetengahkan tragedi-tragedi Aceh untuk menjadi catatan sejarah bagi generasi mendatang. Dan setelah hampir 10 tahun berlalu, ia benar-benar menjadi catatan paling bermakna terutama bagi saya yang ingin melihat sendiri situasi yang begitu tragik sekali. Tetapi sebagai permulaannya, saya memfokuskan kepada kepenyairan De Kemalawati sebagai penyair dan aktivis sastra yang masih kukuh hingga ke hari ini. Dan catatan pengalaman saya mengenali beliau seeratnya. Pun istimewanya, beliau satu-satu penyair wanita daripada 25 penyair dalam Keranda-Keranda. Suatu yang harus digali sedalam mungkin.

De Kemalawati dilahirkan di Meulaboh pada 2 April 1965 dengan nama asalnya Halimatus Sakdiyah sebelum diubah menjadi Cut Kemalawatini. Menulis puisi sejak di bangku SLTP, memiliki Sarjana Matematika, FKIP Unsyiah, Banda Aceh dan berkhidmat sebagai seorang guru. Selain guru, beliau juga penari dan pembaca puisi yang baik. Semasa kuliahnya, pernah bergabung dengan teater improvisasi dan juga Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Banda Aceh yang dikemudi oleh suaminya, Helmi Hass. Melalui Keranda-Keranda, De Kemalawati menulis 4 buah puisi iaitu Yang Pergi di Waktu Malam ( hal. 65 ) Fragmentaria Darah ( hal. 66 ) Surat dari Negeri Tak Bertuan ( hal. 69 ) dan Prahara ( hal. 71 ) Biodata penulisnya disisipi dengan  photo yang sangat muda berbanding sekarang. Hingga saya beranggapan ini wajah ketika kuliahnya dan menjadi buruan banyak pria. Namun, bagi saya kekaguman yang sebenar adalah kekuatan staminanya sebagai aktivis sastra dan budaya yang paling dikagumi. Pernah saya katakan, setelah pemergian almarhum bapak A. Hasjmy, Aceh bergantung sepenuhnya pada De Kemalawati terutamanya bagi hubungan antarabangsanya.

Puisi pertamanya, Yang Pergi Di Waktu Malam, beliau menulis,

Aku masih terjaga menanti kepulanganmu
betapa malam telah sepi
desahmu penuh duka
" tadi malam aku lupa berjaga
padahal sebelum kujenguk dia
terpikir olehku kamera
dia telah pergi
tanpa sempat kuabadikan deritanya "
" sudahlah sayang " ucapku
" sungguh sudah sangat banyak yang telah pergi
sementara tubuhmu pun akan semakin rapuh "
" aku hanya ingin kau tahu tentang perawan yang
disetubuhi peluru itu telah pergi selamanya "
Aku tersenyum
Kau semakin meradang
" begitu mudahnya memutuskan tali kehidupan
hingga wanita yang terkapar diberondongi selangkangannya
ah. percuma kaujadi ibu, " gerutumu makin panjang
Nun di sana di awan-awan Yuni melambaikan tangannya padaku
Gadis belia itu tersenyum melangkah di antara kembang putih
wanginya tercium ke bumi

( Banda Aceh, 10 Mei 1999 )

Ya, seperti apa puisi ini? Bagi pembaca yang tidak punyai latar atau kelongsong peristiwa, ia adalah puisi biasa. Tetapi bagi penulis yang punya pengalaman dan daya pengamatan, ia adalah suatu luahan yang tak tertahan untuk diendap dan dikenangkan. Lantas meluncur sebagai sebuah puisi yang lahir dari darah dan perasaan. Saya telah menulis puisi antara barisnya berbunyi,' getar suara inong baca puisi ibunda/ debar dada agam meninggal isteri melahirkan anak tanpa penjaga! ' ( Aku Pulang IV, Melaka, 2010 ) Sebenarnya puisi ini adalah puisi pengalaman benar De Kemalawati dan suaminya, Helmi. Dan melalui puisi Yang Pergi Di Waktu Malam adalah puisi peristiwa benar penyairnya. Ini kerana dialog dan beberapa petanda lain seperti kamera menyakin saya tentang keduanya. Dialog itu pernah diceritakan kepada saya dan suaminya Helmi yang bertugas sebagai seorang reporter sentiasa berburu waktu dalam suasana getir peristiwa DOM ( Daerah Operasi Militeri ) sepanjang hari. Peristiwa sedemikian sadisnya berlaku secara rutin hingga Aceh menjadi lapangan penyembelihan ( killing field ) yang tiada tolok bandingnya di Asia Tenggara. Dari sisi lain cerita penyair ialah beliau pernah ditinggalkan sendirian ketika melahirkan anak kerana suaminya repot dalam gelita malam jahanam di tengah kota. Dan semuanya dilahir dalam puisi.

Bagi saya,  kemampuan ibu beranak tiga ini bertahan dalam kegiatan puisi dan budayanya ialah kerana rasa kebertanggungjawapannya terhadap tanah air. Dinamai Cut Kemalawatini cukup bermakna pada batang tubuh penyandangnya. Dan beliau sedang melanjutkan perjuangan Cut Nyak Dhien dengan pena.

Melalui puisi kedua Fragmentaria Darah, sebuah balada yang agak panjang, De Kemalawati hanya bisa bertanya. Katanya,

Kala pencarian makin membingungkan
seberkas sinar memantul kegeraman
wajah-wajah ketakutan satu-satu melintas di sana
tak seorang pun mampu menolongnya

Ini adalah ketakutan dari peristiwa DOM tersebut.

Ketika cahaya makin terang menyinari
layar makin lebar terbuka
seluruh dunia terpana
amarah kita terguncang
urat nadi kita bergetar
jiwa dan raga kita terbakar
gemerlap cinta kita pudar

Peristiwa DOM ini sempat cecer ke pengetahuan dunia. Namun dunia hanya terpaku dan tercokol begitu saja atas pegangan tidak mencampuri hal ehwal dalam negari tetangga.

Kita terkulai menyaksikan diri kita
yang terluka tersayat di jiwa
merintih dalam kepapaan sukma
bertahun-tahun terkurung tanpa ada
yang membuka jendela
bertahun-tahun memikul beban, tak seorang pun
mampu menolongnya
bertahun-tahun berkaca mencari kekurangannya
bertahun-tahun mengusap data menentramkan jiwa

Rasa kekesalan penyair tentang solidariti yang entah ke mana perginya di kalangan ketua negara, pertubuhan bangsa-bangsa atau suara penyair yang seakan bungkam dan menutup mata dan telinga.

Lihatlah di sana
mayat-mayat bergelimpangan
bumi ini basah
berdarah
laki-laki tanah rencong telah jadi tumbal
bukan rahasia
wanita-wanita mulai menjadi sandera
bukan cerita
wahai, betapa jiwa kita tak retak
penindasan-penindasan telah sampai
ke ubun-ubun sakitnya
masih juga harus menyaksikan
mereka berlalu melenggang tenang

Inilah cerita sebenar. Kesadisan dan keperimanusiaan menjadi barang mainan. Penyair akhirnya menyerahkan.

Wahai
cukuplah sandiwara ini sampai di sini
bukalah layar untuk keadilan
bukan pelampiasan kesewenang-wenangan

Sungguh luarbiasa penyair menyatakan kesangsiannya. Sebagai penyair wanita, derita yang dilalui cukup mengesankan. Bait-bait pilihannya adalah dari darah yang mengalir genas di tubuhnya. Dan dia tidak pasti siapa penolong dan pembebasan tanah rencongnya yang telah disergap dan diguakan daripada pengetahuan dunia. Seluruh rakyat Aceh di GAM oleh DOM dan dunia luar yang didatangi warga Aceh. Sungguh laranya, penyair.

Barangkali kerana itulah, penyair melayangkan  Surat dari Negeri Tak Bertuan untuk pengetahuan dan solidariti penyair. Katanya,

Sahabatku, inilah suratku dari negeri tak bertuan
sebenarnya telah lama sangat
berita ini ingin kukabarkan
tetapi seperti kau juga
aku selalu terjaga setiap malam
untuk menenangkan diri
bahwa kuku-kuku panjang
yang dulu merobek-robek hikayat negeri kita
terlalu keras mencengkram bumi
hingga kini mengalirkan airmata darah

Aku jadi malu pada diriku
sungguh telah membiarkan cerita luka terkubur
dalam batinku tanpa menceritakan padamu
tapi kuyakin
kau juga telah banyak tahu
tentang tanah dan airku
yang kini berwarna merah

Dikeranakan tabir telah terbuka
tak ada yang harus kusembunyikan
ingin kubertanya padamu
tentang wajah kami
apakah benar berwajah serigala
hingga pemburu beradu cepat
mengangkat senjata
kalau benar katamu
apakah kami harus punah
bersimbah darah
tolonglah aku
jawablah pertanyaanku
kerana kamulah yang masih bisa kuajak bicara
sejak mereka memalingkan muka

Begitulah berbagai usaha penyair untuk menyampaikan risalahnya kepada dunia. Segala usahanya itu disampai dengan puisi. Negeri Tak bertuan adalah tanah rencong yang tidak punya kudrat dan kuasa dan sedang diobrakabrikkan oleh militer. Aceh seperti tiada pemerintah. Siapa tuan di Aceh? Kenapa seenaknya  pusat menghantar militer dan menembak sewenangnya umat Aceh? Hanya dengan bermodalkan GAM, darah ditumpahkan dan tindakan keji mereka dihalalkan. Kalau Bosnia-Herzegovina mendapat perhatian dunia, Aceh tertutup langsung. Suara mereka seperti dibungkamkan. Wanita sebelum dimusnahkan harus diperkosa. Di mana hak asasi manusia? Di mana women lip dengan perkosaan yang terang-terangan ini? Apakah kerana ia berlaku di negara Islam dan serambi Makah? maka didiamkan begitu saja? Inilah isi Surat Dari Negeri Tak Bertuan. Keluhan yang sarat tetapi terus didiamkan. Namun penyair telah menyampaikan walaupun kesannya bukan pada masa terdekat tetapi akhirnya ia tersampaikan juga. Dan barangkali suara dan doa lebih terdengar oleh Yang Berkuasa. Hingga dengan kun fayakunnya, diutuskan air ( tsunami ) sebagai penamat sengsara. Allah juga mengirimkan ababil pada tahun gajah sebagai pertolongannya.

Puisi ke 4nya ialah Prahara. Prahara lebih nyali menyatakan sikap penyair.

Keributan ini bukan teka-teki
prahara mengirim kabut mengental di ketiak pohon
masih mendengus kelihatan diterkam
untuk teriak lantang butuh waktu

Angin kali ini bukan angin malam
sepoi-sepoi basah
badai di tepian pantai menumbangkan pohon
hingga ke akarnya
sungguh bila ini petaka
siapa lagi korbannya

Kegelisahan terpantul lewat kaca yang ditabalkan
mau apa lagi keberadaan di akhiri ketiadaan
bukan sekedar mimpi buruk
atau imajinasi sang penyair
luka pada kaki yang dirantai tak melemah
apa lagi terkubur
kecuali lelaki yang punya nyali
tak berkoar di tepi

Prahara dicipta lebih awal iaitu pada tahun 1993 berbanding 3 buah puisinya yang lain iaitu 1998 dan 1999. Ini bermakna sejak awal lagi benturan prahara di Aceh memang telah mencengkam jiwanya. Baginya, keributan-keributan yang terjadi bukan hanya peristiwa kecil seperti katanya, ' sepoi-sepoi bahasa/ tetapi  badai di tepian pantai yang menumbangkan pohon '  Dan penyair mengantung harap pada ' lelaki yang punya nyali/ tak berkoar di tepi '  Siapa lelaki tersebut? Apakah yang dimaksudkan Hasan di Tiro? Kalau dihayati sosok Hasan barangkali benar. Hasan melompat ke idea yang lebih radikal. Mungkin kerana Darul Islam kalah, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Kerana bila ditanya apakah beliau percaya pada kemungkinan mencapai perdamaian, beliau menjawab, Aceh selalu menginginkan perdamaian. Kami berjuang demi sebuah perdamaian yang bermartabat...( Lilianne Fan, Hasan di Tiro The Unfinished Story of Aceh, 2010 ) Demikianlah penyair menyandarkan harapannya. Dan apakah ia tercapai?

Dalam kekalutan sedemikian hebat, tanggal 26 Desember 2004, Aceh dilanda tsunami. Keperitan yang berganda. Aceh kehilangan puluhan ribu jiwa. Antaranya para penyair dan wartawan yang selama ini membelakangi kegiatan sastra. Barangkali kalau tiada nyali, penyair Aceh bisa roboh pribadinya. Tetapi begitulah keutuhan penyair. Tawakalnya kepada Allah dan pergantungan tidak berbelah bagi. Setelah 6 tahun tragedi tsunami, rahsia Ilahi ini telah terbongkar. Tsunami adalah pertolongan Allah atas doa orang teraniaya. Kini Aceh menerima sedikit keterbukaan dan sedang mengarah kepada kecerahan masa depan. Aceh mula terbuka kepada dunia luar. Prasangka buruk Aceh dapat sedikit dilenyapkan. Kerana penyair pernah menyesali keadaan, apabila ke luar negara harus ditanyai tentang GAM dan narkoba. Apakah Aceh begitu hina di mata luar? Sebenarnya ini adalah rencana-rencana yang dihulur oleh tangan-tangan gelap di belakang vandalisme Aceh. Kini semuanya telah berakhir. Dan De Kemalawati masih berdiri kukuh dengan perjuangannya melalui puisi.

Saya sangat menghalusi segala lontaran suara penyair dalam Keranda-Keranda. Antaranya ialah penyair alh. Maskirbi yang hilang oleh petaka tsunami. Puisi Kesaksian ( hal. 30 ) saya hayati ketika dibaca oleh De Kemalawati di hari peluncuran antologi 3 Di Hati. Sangat luarbiasa penghayatannya. Dan saya akan mengulasnya pada kesempatan yang lain. Sesungguhnya, Aceh sebuah wilayah anugerah Allah yang cukup istimewa. Jangan dilihat sengsaranya tetapi hargailah keteguhan imannya. Anda akan merasai itu bila menghayati Aceh. Aceh Darussalam daerah istimewa itu.


  Melaka, 16 Januari 2011 jam 20:54