Header


Sabtu, 25 Desember 2010

NYANYIAN MANUSIA - NYANYIAN SEORANG HARUN AL RASYID

oleh Djazlam Zainal pada 26 Desember 2010 jam 11:58
 
 
Aceh bukan sahaja menemukan saya dengan segala penderitaannya tetapi juga segala ketangguhan manusianya. Antara manusia tangguh itu ialah Mohd. Harun al Rasyid, seorang sarjana, seorang penyair dan seorang da'i yang diuji Allah akan kekuatan imannya. Harun al Rasyid adalah saksi mata dan saksi derita ketika tragedi tsunami 6 tahun lalu. Isteri dan kedua orang anaknya turut hilang dalam musibah tersebut. Ikutilah rintihannya.

Tiga tahun lalu
ayah tinggalkan engkau, sayang
dalam kabut bandara Sultan Iskandar Muda
kulihat engkau melambai dengan sepuluh jari
petanda kita akan segera berpisah
ayah pergi merenangi samudra ilmu
engkau tinggal dalam ketulusan hati sang ibu

Tiga tahun lalu, sayang
ayah tinggalkan engkau menjulang ulang tahun ketiga
kasihku bertaburan antara Banda Aceh-Malang
kadangkala kupungut enam bulan sekali
lalu kutaburkan dalam kolam hatimu yang riang

Sekarang
sekarang ayah tinggal sendirian
menghitung senyummu yang mengambang
menghitung hobimu untuk berenang
mengeja bibirmu mengeja firman Tuhan:
" segala puji bagi Tuhan semesta Alam "
dan teringat tanganmu menuliskan catatan harian
selama di Malang dalam Ramadan dan Lebaran

Tiga tahun lalu, sayang
bukanlah sekarang
sekarang adalah kenangan
dulu adalah harapan

Tiga tahun lalu, sayang
engkau minta sebuah ranjang
engkau dambakan sebuah almari pakaian
dan cermin kusus untuk berdandan
ayah telah menunaikan padamu
dua pekan sebelum tsunami, 13 desember 2004
saat ayah harus pergi lagi menamatkan

Anakku, damailah ruhmu dalam kebahagiaan
selamat berdandan di sisi Tuhan
memilih gaun ulang tahun di almari
dan merebahkan jasad di ranjang dambaan

Andai engkau telah pergi berkelana di taman Tuhan
ayah ucapkan selamat jalan anakanda tersayang
jangan lagi berpaling ke belakang
kerana ayah telah ikhlaskan
kita bertemu di yaumil mahsyar

Pidie, 31 Januari 2005

( Kenangan Dalam Keikhlasan -  bagi Inong Nabila Harza dalam kumpulan Ziarah Ombak, Lapena, 2005. hal. 79 )

Puisi di atas adalah keluhan hiba Harun terhadap kehilangan yang tiba-tiba. Selain isteri, anak dan semuanya ditelan tsunami termasuk puisi-puisinya. Namun ditakdirkan, puisi yang terkumpul dalam kumpulan puisi Nyanyian Manusia ini terselamat oleh alm. isterinya yang memindahkannya ke Sigli, Aceh pada tahun 2001. Dan dibawa ke Malang pada tahun 2002 kerana di situlah Harun menghabiskan masanya ketika kuliah. Kerana terselamatnya puisi-puisi tersebut, terabadilah Nyanyian Manusia seperti yang sedang anda nikmati.

Harun adalah seorang yang mempunyai kepedulian yang tinggi sebagai manusia seterusnya sebagai penyair. Penyair@ sarjana ini memang sejak awalnya sangat tajam penumpuannya terhadap masyarakat. Perjalanan hidup manusia adalah suatu yang mistri yang tak mampu manusia prediksikan, hanya Allah yang mengetahui seisi alam dan kejadian. Mulanya Harun menuangkannya dalam puisi-puisinya yang religi, filsafat, yang estatik dan beretika. Manusia-manusia Aceh tumpuan puisinya yang akhirnya menguatkan hasratnya menjadi disertasi doktoral yang membawanya ke gerbang Doktor ( Dr. ) Lihatlah bagaimana Harun menanggap.

duka menggelepar-gelepar
di tanah kelahiran manusia
dibakar matahari
tak henti

ibu, lihat itu mata bulan
terluka
bumi penuh air mata

o, dalam risau yang menggalau
senjata-senjata gagal mulutnya
menyalak di mana-mana
menggigit angin
udara
sisa-sisa sepi
dan keluh kesah yang bermekaran

( Nyanyian Anak Bumi, hal. 2 )

Lebih 10 buah puisi awalannya dijodolkan dengan Nyanyian. Bagi Harun, nyanyian adalah ulah manusia yang mengamati kehidupan. Antaranya, Nyanyian Dari Kerajaan Semut, Nyanyian Melelawar, Nyanyian Nyiur Selatan, Nyanyian Bocah Afrika Hitam, Nyanyian Anak Kolong dan lain-lain. Dalam Nyanyian Kolong, Harun menulis,

ma
masih adakah mentari
menghiasi cakrawala
masih adakah rembulan
masih adakah gemintang
sebagai boneka hari esok?

Harun melihat seluruh ruang maya pada. Semua gelodak jiwa manusia disentuhinya. Puisi dijadikan cermin kehidupan masyarakat yang sentiasa berkembang mengikut waktu. Masyarat juga diindikasikan kepada dirinya juga. Lihatlah bagaimana Harun menempiaskan kekosongan hatinya kepada Nora, Inong dan Agam ( isteri dan anak-anaknya )

semakin mendalam saja harum itu
mengelopak dalam lingkar kelopaknya
mengembang dalam gerimis kasih

aku ingin mengintai dan bersandar
pada harum itu
yang makin harum
dalam kuntum
...
aku ingin larut dalam gelombang itu
membenam harum
mendendang kasih

( Nostalgia Di Ruang Sempit, hal. 22 )
Puisi ini ditulis tanggal 10 desember 2004, dua minggu sebelum Harun dikabarkan dengan tsunami yang menghaibkan Nora, Inong dan Agamnya dalam sepi. Betapa keterharuan itu mencengkam hatinya, namun keredaan harus juga disandarkan. Oleh itu puisi Aku Bangkit dibangunkan pada 22 April 2005, empat bulan setelah Harun mengalami kecederaan yang parah.

aku anak adam yang terajam bencana
hari ini aku bangkit menganyang duka lara

sisa-sisa kesedihan yang terlanjur membeku
kusingkir dengan semangat baru

Harun menerima pertolongan Allah melalui sahabat-sahabatnya. Sahabat memotivasi dan menyahabatinya penuh kasih. Di sinilah Harun mengerti bagaimana harus kembali menjadi manusia. Lihatlah bagaimana ia mengisytiharkan kesembuhannya.

lihatlah kawan!
aku telah sembuh dari luka derita
kini tersenyum kembali dalam suka cita

Ya, Harun al Rasyid telah kembali menjadi penyair yang lebih kukuh dari sebelumnya. Derita mengajarnya menjadi lebih dewasa.


*Djazlam Zainal, Kritikus sastra tinggal di Melaka

1 komentar:

  1. Puisi-puisi Harun Al Rasyid dapat dibaca dalam buku antologi puisi "Nyanyian Manusia" diterbitkan lembaga Lapena Banda Aceh, 2006

    BalasHapus