Header


Minggu, 02 Januari 2011

BURUNG-BURUNG BERSAYAP AIR : CITRA HITAM WANITA DI WAJAH HITAM LELAKI


oleh Djazlam Zainal

Melalui kumpulan puisi pertamanya ini Dewi Nova membentang 47 buah puisi peta kekerasan terhadap perempuan yang terjadi tempat di Indonesia malah menerobos keluar negara seperti Bangkok dan Chengmai di Thailand dan Burma serta Sarawak di Malaysia. Pemetaan yang puitis ini dirakam dan dirangkum di sela-sela  tugasnya sebagai aktivis kemanusiaan yang berpindah-pindah. Puisi-puisi bukan hanya putis tetapi, menggigit, membuka mata rohani, membawa kita ke dunia kekerasan yang menyakitkan. Dan membakar kita untuk bersama sang penyair berpihak kepada perempuan yang menjadi korban. Tidak setakat berpihak, tetapi ikut berlawan. Ini adalah antara kata-kata yang tercatat di kulit belakang buku puisi Burung-Burung Bersayap Air ( Penerbit JAKER, Jakarta, 2010 )

Dewi Nova Wahyuni, dilahirkan di  Pekebunan Teh, Kebupaten Bandung, pada tanggal 19 Nopember 1974. Pernah bermukim di Kupang ( 2001-2002 ) di Banda Aceh ( 2006-2008 ) Bangkok ( 2009 ) Selain melakukan perjalanan dan pekerjaan masyarakat di bidang perhatiannya migrasi, peace building, gender dan seksualitas, Dewi suka menari. Riset terakhirnya A reports on National Human Rights Institutions ( NHRI's ) work to evaluate and monitor state anti-trafficking responses in the Association of South- East Asian Nations ( ASEAN ) area ( 2009 ) 40 buah tulisan dipublikasikan di pelbagai media cetak dan on-line. Tulisannya tentang pengalaman organisasi perempuan membangun mekanisme pencapaian keadilan di Sumatera dan  Jawa. Dengan pengalaman sedemikian, ia dapat menandai penghayatan penting terhadap puisi-puisi Dewi Nova.

Puisi pertama dalam hal. 1, penyair mengkabarkan Berita Dari Aceh. Katanya,

malam ini
seorang perempuan
diperkosa di rumahnya
juga malam-malam sebelumnya
dan pada malam-malam hitam selanjutnya
atau.. suaminya ditahan
akan di DOR

kemarin
seorang perempuan ditemukan telah menjadi mayat
kedua payudaranya dipotong
juga lelaki yang dilindunginya
ia pun telah menjadi mayat

( Jakarta, 13 Januari 2004 )

Penyair telah memulai dengan ibu segala bencana. Sahihlah Aceh, adalah tempat petaka itu. Saya temui hal yang sama dalam novel Delima Ranting Senja, Siti Zainon Ismail ( Utusan Melayu, Kuala Lumpur, 2008 ) Katanya, ' memang mereka manusia laknat, serakah! Aku ibu hamil 7 bulan diperkosa di depan suami. Si Inep setengah gila, apabila puteranya sendriri dipaksa memperkosa di depan suami. Apa ini bukan setan namanya. Negara apa ini kalau segala tantera berhati babi. Puiiihhh... ' ( lih. Psikoanalisis Jacques Lacan Dalam Melihat Delima Ranting Senja, Fesbuk, Melaka, Djazlam Zainal, 2010 )

Aceh menjadi lapangan penyembelihan dan kekejaman. Wanita mangsa utama baik fizikal, mental atau pun rohani. Wanita yang melindungi rahsia keberadaan suaminya sebagai pejuang, akan diseksa dan dibunuh. Wanita yang telah sedia terdera mental dan seluruh rohaninya dengan berbagai peristiwa harus dihunjam derita fizikal. Ia diperkosa, diperlakukan sungguh tidak seperti manusia. Barangkali Berita Dari Aceh itu terus dilengkapi dengan Lelaki Bersenjata Itu, Kekasih ( hal. 6 )

........
Lelaki itu menemuiku dengan ' cinta '
malam itu, kami bersetubuh
ia berjanji menikahiku

....
Di Jabal Nur
dia memasukkan obat oborsi ke tubuhku
agar ia tidak dipecat kesatuan

Pernikahan itu tidak pernah terjadi

Aku menghiba pada lelakiku
dia memaksa dukun memasukkan kayu 30 cm
ke viginaku
aku pengsan
...

Cerita yang sungguh luarbiasa kejamnya. Suatu tragedi kemanusiaan yang tiada tolok bandingnya. Penyair melanjutkan.

...
Aku melaporkan ke PROVOSI
dan ia menuduhku wanita jalang
anakku gugur di rahimku
waktu umur 7 bulan 16 hari

Lelaki itu akan mengahwiniku
jika laporan ke PROVOSI aku cabut

Satu tahun berlalu
pengadilan militer tidak pernah terjadi
hanya surat pencabutan perkara
yang tidak pernah aku tandatangani

Demikianlah wanita di Aceh. Saya kira penyair telah menyatakan sesuatu yang tidak pernah terdengar di luar Aceh. Sementara di Aceh sendiri ia menjadi gagu hitam. Aceh adalah daerah perlawanan sejak Belanda, Cut Nyak Dien tampil sebagai srikandi Aceh. Apabila ia bersekutu dengan Indonesia, Aceh masih dibrandel oleh kerajaan pusat, inginnya hanya kerana Aceh menuntut kesamarataan etnik dan adat budaya dalam pentadbiran pusat Indonesia. Tuengku Hassan Tiro, wali dan pejuang yang mengisytiharkan kemerdekaan Aceh. Ketika persembunyiannya di hutan, di kantung Wali ada satu batu. Batu kecil seperti timah, tapi bukan timah. Wali bilang, emas ada, intan ada, bagaimana kayanya kita. Tapi diambil oleh Jawa. Itulah sebab kita berjuang ( Hassan Tiro, The Unfinished Story  of Aceh, Bandar Publishing, 2010, hal. 129 )

Suara Rendra dalam Bersatulah Para Pelacur Kota Jakarta juga meresap dalam puisi, Kau Ambil Parang Kami, Kurampas Senjata Kalian! Lihatlah bagaimana penyair mencokol.

Ratusan perempuan
seperti rombongan kupu-kupu
memenuhi kebun
orang-orang berseragam
memoncongkan senjata api
pada tubuh mereka

" kau maju selangkah, kami maju dua langkah "
teriak perempuan

" Berhenti menebang pohon kopi, atau kami tetap
menghadang " perempuan mengacung parang

Puisi-puisi Dewi dalam Burung-Burung Bersayap Air sangat luarbiasa perlagaannya. Jarang saya temui sebuah kumpulan puisi yang terus-terusan menegangkan urat saraf seperti ini. Sengaja barangkali penyair memilih semua puisi dengan adengan gawat hingga dapat menampilkan sosok puisi dalam kumpulan ini sekaligus menyata pernyataan yang jelas perjuangan penyair. Burung-Burung Bersayap Air seperti ' killing field ' Amerika di Vietnam. Dan Perang Sabil di Aceh pula.

Hendaknya kita harus jujur melihat sejarah Aceh sejak mula dan bagaimana Aceh menyambung semula tantangannya terhadap kerajaan pusat. Ini berkait dengan cara kerajaan pusat melayan Aceh. Cara ketidakadilan yang ditanggung oleh masyarakat Aceh, janji yang dikhianati, wajar untuk diamati kembali. Anugerah Allah terhadap Aceh atas ranah rencong harus dimanfaatkan kepada warga Aceh juga. Tetapi ternyata tidak terjadi begitu. Kekayaan Aceh dipungah, rakyat Aceh miskin kedana. Aceh dijadikan daerah operasi militer ( DOM ) dan keberadaan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) mengulang kesilapan tindakan Gerakan 30 September 1965. Sehingga beberapa kasus diklim sebagai kegiatan GAM. Teungku-Teungku yang mengajar agama dianggap sebuah upaya makar mencuci otak. Peristiwa Teungku Bantaqiah, 23 Juli 1999 tidak terhitung nyawa yang terpadam. Sungguh ini dosa siapa?

Peristiwa yang melanda Aceh sungguh tidak berperi kemanusiaan. Selain Aceh, Bangkok dan Burma juga disebut. Sarawak di Malaysia tidak kurang menyita tinta hitamnya. Memperbudak-budak perempuan. Cumanya Dewi belum mengungsi di Malaysia. Silakan datang, dan buat penglihatan sendiri, agar semua kotoran yang dilicinkan di bawah carpet dapat dikemukakan.

Peristiwa di Bangkok, Dewi mulakan dengan ketakjupan China Town. Katanya,

Kubawa luka
ke China Town
sambil menatap aksara
tak termaknakan

Seorang perempuan cantik
meracik teh
pada teko dan cawan
aku meneguknya
laksana mentera

Namun  kepada Perempuan-Perempuan Patpong 1, Dewi menghunjam

Di Patpong
telah kau berikan
telanjang tubuhmu
dan aku melepuh
menghina diri

Lelaki berduit menjilati licin tubuhmu
seperti moyangnya mencecap teh, kopi, opium
dari ladang moyang kita

Ya, ini seperti sebuah pemerkosaan wanita. Tidak dihunjam hujung senjata, tetapi hujung dollar dan hujung moral manusia. Lebih parah Dewi mengerotikkan Perempuan Patpong 11.

bibir indahmu tak hanya membuka botol minuman
bibir indahmu menelanjangiku
pada mulut tempat aku lahir di dunia

Ini cerita dari negeri Uncle Thaksin yang Dewi mengungsi di dalamnya. Ini kelibat wanita dalam peta kekerasan Bangkok dan Chengmai.

Ini pula cerita biang di Sarawak, Malaysia. Perempuan Kapuas ( hal. 32 )

...
tiga tahun
perempuan Kapuas diperbudakkan di Sarawak
oleh bangsa serumpun dan seagama

perempuan Kapuas
ditendang setiap kali lengah.
diseksa setiap dianggap salah

hari ini
perempuan Kapuas, nangis di pangkuan Bunda
' mak, aku takut hamil '

Terpidana perempuan-perempuan di serata dunia. Apakah kerana wajah hitam lelaki, atau wanita hilang harga diri?

Daripada paparan Dewi, 2 persepsi terjadi. Wanita yang dikasari, dirogol dan disetubuhi secara paksa atau secara rela. Ada wanita yang memperagakan diri, wanita-wanita yang mengharap dollar dan lelaki hidung belang. Ada wanita yang berniaga atau bermain seks untuk kesukaan dan kepuasan diri dan orang yang disukainya dari kaum borguis. Namun penampilan Burung-Burung Bersayap Air adalah kelukaan wanita diterjahi pamor lelaki. Lelaki-lelaki seperti denak dan induk, boleh dikirim ke mana-mana, menujahkan hujung senjata aparat atau hujung kelelakiannya untuk sebuah perkosaan umat manusia.

Seakan sebuah resolusi dinyatakan dalam Perempuan Berumur Pendek

Hidup terlampau pendek
dilahirkan bervagina
diharapkan pelihara rumah
sekolah di kelas rendahan saja
...
Hidup terlampau pendek
diperkosa pembeli
dipajakin penguasa
sambil meneteki tukang ojeng, tukang warung
dan pemilik losmen
...
Hidup terlampau pedih
hidup terlampau lelah
hidup terlampau tidak adil

Begitu juga dengan sajak Perempuan Opium

Perempuan itu diberkahi cantik
seperti gunung-gunung subur di utara Thai
cemerlang menantang
laksana aliran sungai Mae Khong

Tak ada lelaki yang tak ingin rupa cinta
perempuan jalanan segala rupa cinta
bersetubuh dengan tujuh kekasih
gugur terbunuh dilawan adat

Dari tanah yang masih merah kuburnya
dari vagina yang ingin dikuasai manusia

Sebenarnya sangat ngeri membaca puisi-puisi dalam kumpulan ini. Perempuan dilecehkan. Perempuan dipergoki. Dalam konteks keseksaan perempuan Aceh ketika DOM amat beratnya. Zubaidah Djohar, menyatakan bahawa perempuan mengalami trauma yang hebat, kalau lelaki yang menjadi korban penembakan di mana-mana, perempuan kadangkalanya diperkosa terlebih dahulu sebelum dibunuh. Dan Zubaidah dalam hal ini sangat kecewa dengan apa yang berlaku kerana keamanan yang dilaung-laungkan ternyata tidak berbasit kepada penderitaan seksualitas wanita terpidana ketika DOM. ( Perempuan Dalam Masyarakat Aceh, Logica-Arti-Pusli Iain Ar-Raniry, Banda Aceh 2010. hal. 123 ) Dewi memang mahu memberitahu dunia tentang teraniayanya wanita terutama di negara bencana seperti Aceh tetapi tidak lupa juga wanita teraniaya secara lugas di negara-negara sedang maju. Malaysia yang menggunakan tenaga manusia dari negara tetangga juga tidak terkecuali menambah-hitamkan perkosaan ini. Dan akan meluas lagi kalau Dewi Nova membuka pemetaannya di Asia Barat ( negara-negara Islam Arab ) dan Asia Timur ( Jepang dan Korea ) yang tidak kurang bahayanya tentang perkosaan wanita.

pada 01 Januari 2011 jam 12:28

1 komentar:

  1. catatan perjalanan yang dirangkai dan di sajikan dalam bentuk pusisi yang indah, mantap euy..

    BalasHapus