Header


Rabu, 05 Januari 2011

SASTRA DAN RELIGIOSITAS : INTIPATI KEHENDAK MANUSIA


oleh Djazlam Zainal 




Sikap manusia yang kendati pun tahu akan dipikul terus menerus, namun toh goes on fighting, pada hakikatnya adalah sikap religius. Sebab itu menandakan dia punya harapan, dia melihat pijar cahaya akhir, yang walaupun jauh, membuatnya bertekad untuk hiidup terus dan merebut kehidupan ( YB Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, 1982 ) Saya melihatnya ia sebagai satu kebutohan manusia apatah lagi kaum penyair yang menggunakan kata-kata bagi menyatakan kehendaknya. Bagi De Kemalawati, puisi adalah kebandelannya untuk menyatakan peribadi. Puisi sebagai alat meloloskan batini sekaligus mencerminkan visi dan tarikat kepercayaan beliau. Inilah yang dapat saya lihat dalam empat puisi kecil yang tercipta pada tanggan 17 July 2010 di Banda Aceh yang syahdu.

Al-Quran memang bersifat puitis terutamanya pada surah yang diperturunkan di Mekah pada zaman awal turunnya wahyu. Kerana zaman itu meledaknya ucapan penyair, maka Nabi Muhamad difitnahkan juga sebagai penyair. Nabi bukan penyair tetapi amat meminati puisi kerna puisi yang bernilai baik, ada hikmah di tengah-tengahnya. Banat Su'ad, syair Ka'ab Ibn Zuhayr pernah mendapat perhatian baginda.

Dalam puisinya," Menuju-Mu ", De menulis;

Malam rembulan gamang
hati bersayap lumpuh
menuju-Mu
dalam jejak sunyi
terasa malu

( 17 Juli 2010, Banda Aceh )

Ada keindahan yang sangat imaginatif yang diluahkan penyair dalam mengolah pengalaman mistikal. Malam diciptakan Allah dengan segala rahasianya. Malam untuk beristirahat manusia dari kesibukan hari siang. Namun Allah menetapkan satu per tiga malamnya untuk beristiharah dan berqiamulail. Allah amat suka makhluknya yang bangun sepertiga malam, beramal dan memohon kepadaNya. Di sinilah rahasia malam seperti diungkap penyair," hati bersayap lumpuh/ menuju-Mu "

Dalam sejarah Islam, Rabiah al-Adawiyah merupakan penyair ulung yang menggunakan puisi bagi menunjukkan rasa cinta kasihnya kepada Allah. Ini diikuti oleh Bayazid al-Bistami dan lain-lain kemudiannya hingga ke hari ini. Ada satu riwayat menyatakan, seorang penyair pra-Islam yang menemai Nabi dalam perjalanannya iaitu Umaiyah bin Abi al-Salt, sentiasa membacakan puisinya untuk Nabi. Nabi dilaporkan bersabda, " sesungguhnya di dalam puisi itu, Umaiyah bin Abi al-Salt hampir menjadi seorang Muslim ".

Dalam puisi," Keyakinanku " penyair dengan teguh menuturkan;

Biar semua pintu terkunci
biar semua dentang tak berbunyi
biar semua kelam menuju pekat
tak kubiarkan hati ini mengubah arah
kaulah langitku
tempat asal seluruh cahaya menyatu

Sungguh, ini satu pembaiahan yang jitu. Penyair tak teragak-agak menyatakan, " tak kubiarkankan hati ini mengubah arah " Sudah tentu keyakinan itu harus dibaiahkan bagi menyatakan secara vokal. Kerana daripada kebanyakan pernyataan dan pengakuan sebagai Muslim, biasanya arah jalan tindaknya selalunya terpesong dari pernyataan. Bukankah ramai para pembaiah itu hanya menjadikan kata-kata sebagai satu muzik merdu seperti templakkan Allah dalam surah As-Syuaara ayat 224-227 yang mengatakan penyair diikutri golongan yang sesat melainkan penyair yang beriman! Kerana begitu beratnya ' menyatakan keyakinan ' penyair utuh. " Biar semua pintu terkunci/ biar semua dentang tak berbunyi " akhirnya dinyatakan, " kaulah langitku/ tempat asal seluruh cahaya menyatu "

Ka'ab bin Malik adalah penyair Nabi yang membela baginda melalui puisi.

Aku tercengang kebesaran Ilahi
Maha gagah tiada bandingannya
Di hari Badar kami jumpai
Jamaah berlarian, kian ke mari
Berlutut di bawah tapak kaki kami
Ka'ab, Amir. Aus mengelilingi Rasul dengan gagahnya
Dia pengatur, punca segala perkara
Bani Hajjar tunduk terkulai di bawah benderanya
Melangkah perlahan-lahan di tengah debu peperangan
Tatkala mereka tegak di depan kami
Kulihat wajah pahlawan Rasul merah berapi-api
Mengakulah kami tiada Tuhan melainkan Allah
Dan rasul itu adalah benar
Kilatan pedang Abu Jahal dan pucatlah warna mukanya
Ditinggalkan Utbah, Syaibah dan kayu apinya di tengah gelanggang
Mereka akan jadi mangsa jahanam dan kayu apinya
Memang Kuffar di sanalah tempat kediamannya
Rasul pernah berseru, ikutlah aku
Mereka menolak, menuduh tukang sihir
Kini kehendak Allah telah berlaku
Tiada suapa pun dapat menyingkir

( H.A. Fuad Said 1984, Pengantar Sastra Arab, hal, 51-52 )

Malah Puteri Nabi, Fatimah al- Zahra' juga adalah penyair. Lihatlah puisi ' Elegi " yang meratapi kematian ayahandanya.

Tidak menakjubkan sesiapa pun
yang mencium semerbak pusara Muhamad
Tiada lagi akan berbaui air wangi
Takdir menyakiti dengan kehiolangan
Penuh kesedihan dan kegelapan
Jika kegelapan berlaku di siang hari
Nescaya hari menjadi malam yang abadi

Puisi menyatakan keislaman adalah puisi jihad batiniah. Apabila terlontar sebagai ucapan, ia dikira sebagai nazar. Lalu melanggari nazar yang telah diucapkan adalah pemesongan dan penipuan akidah.

Dalam puisinya, " Jawab-Mu ",

Tak tertunggu jawapanmu malam ini
juga tidak malam setelah ini
karena lereng yang pahat
sebagai jejak menanti
semakin terjal
untuk kudaki

Ya, memang payah untuk mencapai ketinggian martabat dan takah keimanan. Semua itu diuji. Tidak Aku biarkan hambaku beriman tanpa uiian. Semakin beriman, semakin besar ujian Allah. Para nabi adalah kekasih Allah, tetapi begitu besarnya ujian Allah kepada kekasihnya. Nabi Noh dengan bahteranya. Nabi Adam dengan buah koldinya, malah kekasihnya Muhamad diuji dengan bapa saudaranya Abu Lahab memusuhi sebagai musuh nombor wahid. Ujian maha terjal ialah bapa saudaranya Abdul Mutalib yang tidak Islam walaupun menyokong segala perjuangannya. Namun diberi kegembiraan tinggi dengan bapa saudaranya saidina Hamzah penyokong nombor wahidnya.

Dalam " Kangen " ( Rindu ) menyatakan,

Kalau kangenku makin membara
tak cukup lautan kata
meredamnya
maka berikan aku sebilah rencong
untuk kutikam di dada hampa

Pernyataan sohih! Seakan satu pembaiahan. Apabila kata-kata diulur dan dilontarkan, ia seakan janji atau nazar yang butoh dikabulkan. Menjadi kebencian Allah akan penyair yang hanya berkata-kata sekadarnya. Amarannya dalam surah As-Syuaara ayat 224-227 harus diberi perhatian wajar. Jangan bermain dengan kata-kata. Namun kedapatan satu kontradiksi di bait terakhir sajak Kangen ini. " Maka berikan aku sebilah rencong/ untuk kutikam di dada hampa "

Apakah penyair belum tuntas pengabdiannya lalu terasa hampa atas keuslupan itu? Kalau demikian ikutilah Mantiq al - Tair mengenai tingkat burung sufi mencari akan lembah cinta, lembah kefahaman, lembah kebebasan, lembah kesatuan, lembah kehilangan atau kematian. Di situlah Simurgh yang dicari Hudhud menemui husnul khotimah. Barangkali De Kemalawati sedang dalam pencarian seperti itu. Wuallahu Alam.


Diposkan di fb pada 19 Juli 2010 jam 1:11

*Djazlam Zainal, kritikus sastra tinggal di Melaka

Top of Form
Bottom of Form
Bottom of Form

2 komentar:

  1. Aku menikmati esai ini. Sebuah pertanyaan, apakah religiositas itu berada di bawah faham keagamaan, di atas paham keagamaan, atau sama sekali tak terkait dengan faham keagamanan?

    BalasHapus
  2. esei di atas aku copas dari efbe sesuai aslinya. ada beberapa salah ketik bahkan salah kutip akan aku perbaiki apabila tulisan ini akan menjadi bagian dari antologi puisiku. Insyallah April nanti. Aku masih menanti esei lainnya tentang puisi-puisiku, mungkin ada teman mas Dimas yang mau berkontribusi akan kuterima dengan senang hati. hingga saat ini baru tiga penulis yaitu Damiri Mahmud, Dimas Arika Mihardja dan Djazlam Zainal yang menulisnya, dan ternyata 3 D juga. Nampaknya 3 D memang dahsyat he he he ...

    BalasHapus