Header


Sabtu, 08 Januari 2011

PUISI, SEBUAH RUMAH YANG DITINGGAL PENGHUNI

Catatan D Kemalawati

Ketika hendak menghapus pesan masuk di inbox hape saya yang sudah kelebihan kapasitas, saya menemukan sebuah sms lama yang hanya ada no pengirim tanpa nama.  Saya membacanya, berulang. Lalu saya pertimbangkan apakah pesan ini akan saya hapus dari memori telpon saya atau saya biarkan saja di sana sebagai bagian dari tegur sapa antara sesama. Membuangnya tentu tak akan memakan waktu lama. Karena saya tinggal menekan tombol ya, maka tulisan itu akan hilang selamanya.  Mengambil keputusan untuk membuangnya, itulah sebuah pertarungan yang membuat waktu terulur menjadi begitu panjang dan melelahkan. Yang kemudian terjadi adalah pesan itu akan mengisi ruang lain yang mungkin akan berusia panjang dan tak terhapus dalam ingatan.

Saya tak akan menempatkan teks berikut sebagai pembacaan pribadi, meski pada kenyataannya ketika teks itu dikirimkan akan diikuti teks lainnya yang mungkin pembacaan pribadiannya utuh di sana. Baik, mari kita simak teks tersebut  

sebuah nama mungkin sudah tak ada lagi 
di catatan harian
bahkan di lipatan-lipatan mimpi
engkau yang menghapusnya 
dan mengganti dengan nama yang lain
baru mungkin
aku pun paham
ada hari yang berangkat lain
sapa yang jauh kini raib bersama angin
rimbun daun pun menjadi ranggas
bersama matahari pagi yang bergegas
sisanya adalah puisi
ya, puisi
sebuah rumah yang ditinggalkan penghuni

Saya tegaskan kembali, bahwa saya tak kan menempatkan teks di atas sebagai pembacaan pribadi. Karena setelah saya baca berulang, betapa si penulis sms tersebut telah menulis dengan bahasa yang sangat indah dan sangat menyentuh. Saya pikir semua orang berhak membacanya seperti sebuah puisi yang dipublikasi penulisnya melalui media cetak, media online seperti fesbuk, twiter dan di blog-blog sastra lainnya.Yang menarik dan menjadi bahan renungan saya adalah bagaimana si penulis mengakhiri tulisannya dengan "sisanya adalah puisi. ya, puisi. sebuah rumah yang ditinggal penghuni."

Puisi, sebuah rumah yang ditinggal penghuni. Kata-kata itu kemudian terus mengikuti saya  kemana saja. Menimbulkan  pertanyaan-pertanyaan. Benarkah demikian. Kalau benar, kenapa banyak sekali orang yang terus menulis puisi, membacanya, mengulasnya, setidaknya memberi komentar singkat atau hanya mengacungkan jempol pada puisi-puisi yang dipublikasi penulisnya. Kalau puisi  menjadi demikian sepi seperti rumah yang ditinggal penghuni apalagi yang membuat dunia ini menjadi indah dan meriah?

4 komentar:

  1. Duh, udah dua kali nulis komentar kok gagal dikirim sih? Ini ringkasannya,kucoba kirim lagi

    Warga bangsa ini tengah terkena wabah konsumerisme, hedonisme, dan pragmatisme yang lebih mengejar gebyar duniawi yang bersifat fisik dan jauh dari hal-hal yang bersifat ruhaniah, spiritual, dan batiniah, itulah sebabnya "Puisi, sebuah rumah yang ditinggalkan penghuninya".

    Salam DAM

    BalasHapus
  2. kali ini ternyata tak gagagl, kan?

    ya, sepakat. Pola konsumerisme itu sudah merajalela. Coba saja tawarkan bangunan rohani kepada pemimpin kita, pasti mereka memandang sebelah mata. tapi coba tawarkan proyek fisik, seberapa mahalnya pasti akan diusahakan karena selain akan menjadi fisik segera juga fee nya lebih dulu didapat oleh mereka.

    BalasHapus
  3. kalau rumah ditinggalkan penghuni, maka jadinya rumah itu bakal kosong. namun akhirnya harus dingat, tanah yang menampung rumah itu tetap tanah yang itu juga. bukan tanah yang lain. maknanya, tempat kembalinya segala (kepada tanah) tidak pernah meninggalkan sesiapa. jika kita meninggalkan rumah itu sekalipun, kita tetap akan berjalan di atas tanah. berapa banyak pun rumah yang kita tinggalkan, kaki kita berjalan dan melangkah di atas apa? tanah, bukan?

    drp: zaen kasturi (kuala lumpur)
    zaenkasturi7@yahoo.com

    BalasHapus
  4. Zaen, terima kasih dah berkunjung ke rumahku. sengaja kubuka ruang diskusi disini dengan penggalan sms rumah yang ditinggal penghuni. apa yang dirimu tuliskan bahwa wadah yang menampung menampung rumah (tanah) adalah tempat kembali, maka meski pun penghuni pergi, tanah tempat bekas rumah akan tetap merupakan tempat kembali. duh, senang sekali dirimu mengingatkan hal itu. tapi mengapa penulis sms itu mengibaratkan dirinya seperti puisi, sebuah rumah yang ditinggal penghuni?

    BalasHapus