Header


Minggu, 02 Januari 2011

IGA DAN GARIS : 2 KUTUB BERTEMU




oleh Djazlam Zainal


Zaen Kasturi atau nama sebenarnya Zainal Palit dilahirkan pada 16 Oktober 1964 di Kuala Sungai Baru, Melaka, Malaysia. Menerima pendidikan rendah dan menengah di negeri kelahirannya, manakala pendidikan tinggi diperolehi dari Universiti Malaya dan Universiti of London. Zaen menulis puisi, novel, cerpen dan esei sastera. Memenangi banyak anugerah sastera antaranya Hadiah Sastera Malaysia, Hadiah Sastera Utusan-Public Bank, Hadiah Puisi DBP-KL, Hadiah Puisi Esso-Gapena dan Hadiah Sastera Perdana. Terbaru ialah beliau Pemenang S.E.A Write Award pada 5 Nopember 2010 di Bangkok. Buku yang telah dihasilkan adalah Yuda ( kumpulan cerpen, 1992  ) Idola ( kumpulan cerpen, 1997 ) Rapsodi ( kumpulan cerpen, 1998  ) Taman Uzlah ( kumpulan cerpen 2005 ) Katarsis ( kumpulan puisi, 1993 ) Iga ( kumpulan puisi, 2005 ) Angin Belantara ( novel, 1996 )

Wina SW1 atau nama sebenarnya Syafwina Sanusi Wahab dilahirkan pada 20 Pebruari 1969 di Banda Aceh. Pendidikan awalnya di TK Beurawe, dan SD Persit 1 Pocut Meuligou sebelum ke SMP Negeri II Banda Aceh. Kemudian ke Fakultas Teknis jurusan Teknik Kimia, Universitas Syiah Kuala dan memperoleh Sarjana Teknik. Melanjutkan ke Graduate School of Chemical Engeneering, Kyoto University hingga kini memburu Ph.D. Mempunyai pengalaman luas pekerjaan iaitu Jurnalis di Majalah Tiara ( Gramedia Group, Jakarta, 1995-1996 ) Staff Pengajar Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 1997 hingga kini ) Part-Timer Teaching Instructor of Indonesian Langguage, Kyoto Foreign Student Collage, Kyoto, Japan ( 2007 ) dan Part-Timer Teaching Instructor of Indonesia Language, Osaka YMCA, Japan ( 2004-2007 ) Sangat sering menulis dan membaca puisi, menjadi mc, fotografer, koreografer tari dan berteater. Buku puisi ialah Garis ( Lapena, Banda Aceh, 2007 )

Iga ( Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 2005 ) mengandungi 77 buah puisi Zaen Kasturi yang dicipta sekitar 1990 hingga 1999. Mengikut kiraan, 16 buah puisi dicipta pada tahun 1994 dan 1995 manakala dalam tahun 1993, hanya 15 buah puisi. Hanya terdapat sebuah puisi pada tahun 1990 dan 1991. Lalu dalam 9 tahun pengkaryaan puisinya, Zaen dilihat antara penyair yang prolifik dengan pamornya yang menyerlah. Kelainan dari pengucapan penyair lain juga amat ketara.  Penggunaan naratif menyerupai pengucapan dalam fiksyen atau prosa. Demikian juga, penulis fiksyen cerpennya amat banyak puisi yang diselitkannya. Antara puisi yang sangat kuat dengan naratif ialah ' segalanya menjadi buah rindu ',( hal. 24 ) ' arwah kita ' ,( hal. 9 ) arwah kita ii ' ,( hal. 22 ) ' mencari arwah ' ( hal. 11 ), ' sehabis bah ' ( hal. 23 ), ' kulihatkau, lihat aku dalam darahku '( hal. 77 ) dan lain-lain. Selain naratif, penggunaan dialog dan kurungan seperti dalam puisi ' itu gunung bila lagi...' ( hal. 12 ) Perhatikan Zaen menulisnya,

" diam saja jika mahu sengsara " teriak angin
dari puncak gunung seberang sana

( aku tak sanggup berjalan dengan muka tertunduk
di antara orang yang berjalan dengan kepala yang
tegak )
...

siapa menatang madu tepi menghidang racun?
" tertawa saja jika mahu membuang tangis, " bisik
burung dari pohon akal

( ya, aku sanggup tersenyum dengan hati terbuka
di antara orang yang menangis dengan mata pura-pura )

Penyataan orang pertama dengan memasukkan suara hati penyairnya sendiri, adalah dirasakan dan situasi pembacaan puisi ini.

Membaca dan memahami puisi Zaen tidak hanya membaca satu dua buah puisi sahaja. Ia harus dibaca pada keseluruhan 77 buah puisinya hingga kita dapat sesuatu yang telah kita yakini ada dalam harkat pemuisian Zaen. Puisi Zaen harus dihayati dari bahagian ke bahagian iaitu dari ekor ke kepala hingga ia menjelma seekor ikan yang bentuknya kita kenal, ikan yang dimaksudkan. Karya sastera harus difahami melalui pendekatan experiental-reflectional atau reflective sebagaimana pandangan Paul Goodman. Isi puisi Zaen tidak menekankan filsafat kerana kelihatannya nyata dan berbentuk. Pembaca hanya memerlukan sedikit penafsiran yang terbalut di dalam puisi-puisi Zaen yang archaisme. Lihatlah Zaen menukilkan dalam ' taman kencana ' ( hal. 62 )

telah disusuri segenap denai kita, dahulu
angin yang jauh diam-diam mengangkat asyikku
ke taman-taman yang tak teraba
sengatan aroma kembang-kembang
kala gerimis jatuh
seperti ada nafas-nafas sesak dan pijar
menarik inginku - menyatu dalam tubuh sepi
Subuh yang tujuh

Ini termasuk sebagai puisi pengakuan ( confessional poetry ). Penyair mengisahkan sesuatu yang bersifat pribadi. Pengakuan tidak semestinya dilafazkan oleh pengarang tetapi juga oleh watak yang dibangunkannya. Namun dalam ' taman kencana ' ia menjurus kepada pengalaman atau nostalgia diri penyair. Kerana penyair mengangkat pengalaman di denainya dengan segala aroma yang menarik ingin, bercantum dengan tubuh sepi, subuh yang tujuh ( subuh dalam seminggu iaitu 7 hari kiraannya )

Begitu juga pengalaman diri ditulis dalam puisi ' lakaran ( empat ) ' ( hal. 49 )

di hadapan kita terbentang danau - hitam airnya.
" tak ada ikan " kata si pengail yang anehnya tetap
menghulur kail. sendirian ia - dari pagi ke malam,
dari malam ke pagi lagi

( hanya sekali kailnya seperti diragut sesuatu. tapi
katanya, " itu barangkali ular lapar dengan matanya
tetap nyalang mencari mangsa " )

Ada unsur-unsur ubsurdisme Waiting for Godot ( Samual Beckett ) di mana Vladimir dan Estragon menanti kedatangan Godot. Versi Zaen mengambil unsur tersebut.

Dalam Paksina, Zaen menulis begini,

kurindu harum langit, tempat rohku dan rohmu
bertemu sejak dulu
-- saling bercerita tentang janji yang dileburkan
waktu. dan kita pun
terpental dari imbauan-imbauan nasib ke jaringan-
jaringan takdir. di bumi purba ini
kita bertemu sesudah katamu terperangkap dalam
kataku -- lafaz
pertama. ke mana lagi harus berpaling?

kautahu?

Sebuah mengamatan religius. Religiositas lebih melihat aspek yang ' di dalam lubuk hati ', riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, kerana menafaskan intimitas jiwa, ' du coeur ' dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas ( termasuk rasio dan rasa manusiawi ) kedalaman si pribadi manusia. Dan kerana itu, pada dasarnya religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak formal, resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata pengayuhan ( Gemeinschaft ) yang cirinya lebih intim. ( Y.B. Mangunwijaya, Sastra Dan Religiositas. Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982 )

Garis ( Lapena, Banda Aceh, 2007 ) adalah kumpulan puisi Wina yang mengisi kurang lebih 100 buah puisi yang bersekitar waktu 1989 hingga tahun 2000. De Kemalawati, penyair mapan Aceh yang konsisten, menanggap Wina sebagai penyair yang menitipkan kepadatan, tegas, singkat, tajam dalam perenungannya yang terkumpul dalam Garis.
Sehingga Garis berhasil menggerakkan langkah puitik mendaki pada pemahaman hakiki tentang hidup dan kehidupan. Bagi penyair Malaysia, Kemala ( Dato' ) Garis tidak dapat memisahkan diri penyairnya dengan persoalan Aceh tanah tumpah darahnya. Puisinya terbalut kemas dalam keharmonisan rasionalitas intelektualannya. Diimbangi pula dengan rasa pasrah dan akliyah.

Wina mengarisbawahi dengan puisi Garis ( hal. 1 ) sebagai pengenalannya.

kita juga terlalu suka bercermin di kaca yang sama
jadi kita tidak pernah tahu
mengapa wajah kita jadi berbeda
di cermin yang mereka pasang

Menurut Wimsett dan Beardsley, puisi bukan sekadar alat menyampaikan perasaan sahaja, tetapi suatu objek yang bebas yang mempunyai sifatnya yang tersendiri. Wina lurus melihat cermin sebagai objek yang sering kita lihat, namun kepekaaan kepenyairannya, ia memberikan beberapa persoalan di dalamnya. Kenapa ada perbedaan wajah pada cermin yang mereka pasang. Yang mana Akhirmu ( hal. 41 ) sebagai satu jawapan.

laut mengantar pinangan
tanpa jeunamee  dan idang meulapeh
maka menikahlah engkau dengan keabadian

Ini resolusi yang didapati dari cermin yang berbeda. Dan laut pada Wina mempunyai konotasi yang begitu semburat. Lihatlah Wina mengamati laut dalam Epilog Bulan ( hal. 45 )

Bulan, matahari, angin di atas satu meja
percakapan tanpa kata:
lautku,
izinkan kuterima tanda cintaku

Barangkali laut akan ada susulannya dengan Kosong ( hal. 46 ) Kosong memberi signifikan yang tertentu pula.

telah kau menangkan waktu dari petaka
yang menantangmu pagi itu
Sang Khaliq kembalikan sisa usia
dan, kau sesali takdir itu

telah ia hembuskan hidup dan esok
agar kau terus melangkah
dan tahu memaknai hidup
tapi kautepiskan anugerah itu

Kekosongan itu dirasai Wina jauh di Kyoto pada tanggal 14 Januari 2005, seminggu selepas tsunami melantakluluhkan Aceh. Sebahagian kenangan, guru, sanak saudara dan Maskirbi yang dilenyapkan Tuhan. Kosong adalah ruang vakuum perasaan yang sukar dimengertikan.

Wina bersikeras dengan kejujuran, sikap berani dan keyakinannya terhadap kesenian sebagai legasi bangsa Aceh yang perlu dipertahankan. Penyair intelektual yang memburu tingkat kedoktorannya di Universitas Kyoto dalam bidang Bioteknologi dan Ekologi ini juga merasa peduli dengan rasa kemanusiaan, dengan rasa cinta kasih yang abadi. Dan sebagai orang muda, Wina juga menulis tentang cinta. Lihatlah bagaimana Wina memaknakannya dalam Hasrat ( hal. 98 )

Kita punya angin
kita punya air
kita punya hari
kuta punya siang
kita punya malam
kita punya mimpi
kita punya nafas
kita punya hasrat
kita punya rasa

kecuali
hati yang hilang dalam lalai
cinta yang terperangkap dalam ilusi
mabuk dalam tarian angin
dan aliran air mata
mimpi bermandi cahaya matahari
entah kapan nyata

Begitulah hasrat seorang perempuan. Sebagai perempuan Aceh, Wina mengarah pada satu generalisasi bahawa di Aceh sebenarnya tidak ada persoalan dalam kehidupan perempuan, perempuan telah cukup diapresiasi dan diberi ruang gerak yang leluasa di ranah publik. Generalisasi ini terkadang melupakan adanya perubahan sosial, modernitas, kebijakan politik yang ikut mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk perempuan dari waktu ke waktu ( Eka Srimulyani, Perempuan Dalam Masyarakat Aceh. Logica, Banda Aceh, 2010 ) Beberapa nama seperti De Kemalawati ( penyair ) Zubaidah Djohar ( penulis dan peneliti masalah seputar perempuan lulusan Universitas Indonesia [ 2003 ] ) Nanda Amalia ( dosen di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ) adalah perempuan-perempuan tangguh yang bakal merencana pembentukan Aceh moden akan datang. Mereka peduli dengan keberadaan mereka di tingkat atas masyarakat. Malah nomor dua Wali Kota Banda Aceh juga seorang wanita yang menggauli acara kesenian, baca puisi dan berteater. Ini meneruskan kembali sejarah lalu, sisi kepimpinan dan kepahlawanan Aceh dituntun oleh Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Putri Phang, Laksamana Keumalahayati dan lain-lain. Ia diteruskan oleh wanita Aceh masa kini.

Sayugia, Wina SW1 adalah pelopor tersebut, dibarengi De Kemalawati, Zubaidah Djohar dan nama-nama lain yang ikut berperan dalam sejarah Aceh yang turun temurun itu. Di bidangnya, Wina telah menyenaraikan namanya sebagai satu ikon dan dukun puisi yang mampu menyihir pembacanya.

Kepada teman-temannya, Zaen Kasturi selalu berpesan. Antaranya, Ingatan Kepada Kawan IX.

" Malammu dan malamku tak sama gelitanya, "
katamu
" namun bulanku dan bulanmu tak berkurang
cahayanya "
kataku

( hanya sesekali bintang di langitmu, bintang di
langitku
mencuba menyihir kita, mengajak kita berlumba
merebut cahaya, kata kita )
....
( hanya sesekali belati di jiwaku, belati di jiwamu
tak betah bertemu sesama kilaunya )

Demikianlah dua penyair tetangga ini menemukan kutubnya.

pada 02 Januari 2011 jam 22:18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar