oleh Djazlam Zainal
ESOK tanggal 26 Desember. Tanggal inilah pada 6 tahun lalu, tragedi yang meragut puluhan ribu jiwa melanda Aceh. Saya yang baru melepaskan jejak ke Aceh, sempat ziarah bekas-bekas duka tersebut. Biar pun parut seakan menutup, getarnya masih terasa. Rasailah titipanku.
Saudara-saudaraku
kau yang dilepaskan dari bencana
dan ribuan badai yang menggila
ayuh! kita perbarui keikhlasan
dari segenap kedukaan
mereka yang telah pergi
antarkanlah keredaan
dan kita adalah penerus sunah
juga memikul amanah
( Banda Aceh, 20 Desember 2010 )
Aceh yang runtuh telah dibangunkan kembali. Uluee Uhulue yang terdapat Masjid Baiturahim yanga terselamat, hanya sebatang pokok asam yang tinggal, daripada puluhan lain yang dibadai, jambatan patah serta runtuhan dinding-dinding rumah dan remuk jiwa, kembali meramah. Namun semua itu bukan petanda sembuh sebuah luka, masih jauh dari rasa gembira, terutama pada mereka yang menjadi saksi mata dan mangsa bencana.
Ziarah Ombak ( Lapena, 2005 ) adalah kumpulan 110 buah puiisi daripada penyair yang menjadi saksi mata bencana. Ditambah dengan puisi dari tetangga dan para simpatis. Kumpulan yang ditata kemas sepenuhnya oleh De Kemalawati dan Sulaiman Tripa, cukup memberi trauma yang tidak sedikit kepada pembaca malah pelakunya. Antara penyair yang kandas jiwa kerana teragut keluarganya ialah Harun Al-Rasyid. Harun kehilangan isteri dan dua orang anak. Lihatlah pengaduannya.
...
Wahai Tuhan Yang Maha Kudus
Aku bertanya pada-Mu
Mengapa kasih-Mu Kau cabut
Pada pagi ahad 26 Desember 2004
Kala surya melambai dalam damai
Kala bayiku sedang bercanda dengan ibunya
Kala putri kecilku sedang sarapan di beranda
Mengapa gempa dan tsunami
Menenggelamkan tangis beribu bayi lagi
Menggoyang jantung puluhan ribu anak-anak
Menyimakan ratapan pilu puluhan ribu ibu hamil
Dan menyusu, serta puluhan ribu orang tua renta
Harun amat terdera dengan tragedi tsunami. Ketidakberadaan beliau disamping mangsa adalah kekeliruannya. Trauma yang begitu dahsyat hanya ditutur dengan suara redha. Seperti kata Ahmadun Yosi Herfanda sang pengantar, bahawa puisi adalah saksi mata bencana massal ini. Suara yang begitu menusuk semacam mata rencong. Seperti juga penyair Azhari yang kehilangan ayah dan ibunya.
Ibuku, Abah dan Dik Nong
setelah bala aku pulang ingin melihat
kalian dan kampung
....
seperti kalian, kampung kita ternyata sudah tiada
berubah menjadi lautan raya
Tsunami adalah tragedi massa, ulah yang perlu difikir dan direnungkan. Tsunami selain bencana adalah rahmat yang tidak sedikit, membuka Aceh kepada sedikit kelegaan. Sebelumnya, Aceh adalah dera, adalah sebuah fatamorgana. Tuhan merencana seadanya, seperti bencana-bencana terdahulu yang diakui punya hikmah tertentu. Apa tidaknya, Aceh yang tertutup, tiba-tiba terbuka luas kepada dunia. Semua kerja dapat dirampongkan dengan tangan Allah. Tangan raksasa berupa tsunami telah menghulur milyar dollar dari luar hingga dapat membangun semula Aceh yang remuk dalam masa terdekat. Kini setelah 6 tahun berlalu, Aceh mengembang laju. Aceh mula tersenyum lewat malamnya. Bayangkan 6 tahun sebelum tsunami, petang dihiasi dengan rentetan bunyi senapan hingga ke dini dan malam umpama neraka yang ngeri. Kini malam di Aceh tumbuh subur dengan dhukupi yang merias dan membragas. Penyair tentu akan menandai semua ini. Namun tsunami, tetap tsunami. Dihargai, dikenangi malah cukup diinsafi.
Penyair De Kemalawati menanggapi dengan Kita Tak Belajar Membaca Tanda-Tanda.
ketika kita terhuyung-hayang dalam goncangan panjang
ketika kita bersidekap rapat dengan bumi
ketika kita tak pernah tahu tanah rengkah
air laut surut berdepa-depa
ketika ia menghulurkan lidahnya ke angkasa
ikan-ikan menggelepar, pasir-pasir mengering
rumput laut tak sembunyi di balik karang
lalu sebagian kita berhamburan ke tengah pasir
silau oleh kerdip sisik ikan
Begitu De Kemalawati menanggapi tanda-tanda. Allah tidak sekejam itu mendatangkan bencana. Diberi tanda-tanda untuk mereka yang berfikir. Diberinya bayangan untuk kita membuat persiapan. Tapi apakah manusia berfikir? Ini yang ditanyai oleh De Kemalawati. Namun bagi L.K. Ara yang bermukim di Pangkalpinang menyatakan,
setelah gempa
setelah gelombang tsunami
tinggal puing
inilah saat hening
sujud kepada-Mu
Sebesar manakah nilai fikir manusia? Tsunami menghantar bicara yang tersembunyi. Bagi penyair, alam adalah tafsir. Segala-gala telah terlukis di atasnya. Seperti yang dinyatakan oleh Rendra,
Di mana kamu De'Na?
Ketika tsunami melanda rumahmu
apakah kamu lagi bersenam pagi
dan ibumu yang janda
lagi membersihkan kamar mandi?
Atau seperti kata Siti Zainon Ismail, Kenapa Kau Datang Dalam Duka Kami
Sungguh ini bukan lagi
bumi kecintaan seperti dicatat marco
ombak biru berkilau nilam
dikejar peraih cinta
layar terkembang di main ombak
kasih sayang...
tapi anda datang
kala kami semakin tipis kepercayaan
hati digalau segala pancaroba
sesaat memang kami ingin saja
pintah alam sana
seperti diangkat entah oleh siapa
rohpun berloncatan meninggalkan
jasad kebanggaan
sekarang silakan
apakah yang kau cari
di celah-celah bau
debu sengsara janji impi
Terasa semuanya terkesima dalam gempa. Manusia ini fikirannya tidak menjalar ke daerah-daerah jauh hingga bisa menafsir sesuatu di alam yang terkesamping. Seperti kata De Kemalawati, kenapakah kita tidak membaca tanda-tanda. Manusia sebenarnya lihai dan hanya terpana ketika semua sudah sampai berupa lukisan realisme. Manusia hanya bisa membaca bahasa yang telah diterjemahkan Allah rupa dan bentuknya. Namun, manusia juga akur dengan kekerdilan diri. Seperti Maskirbi sebelum dilantakluluh tsunami sangat berbagi. Ini antarannya Mas Anton Kieting, Sajak Kepada Penyair ( bagi Maskirbi )
Apakah kita harus mendengar suara azan
agar dapat kabarkan kesaksian
kerana suara lantangnya tak lagi terdengar
berganti gemuruh badai
kerasnya zikirmu kerana kami kini terbaring kaku
entah di mana tak ada lagi alamat
kini kita tak dapat lagi menikmati sebuah pentas
yang menjadi altar untuk memberi kesaksian
bacakan padaku sebuah eligi Baitur rahman
kerana rumah Tuhan yang maha suci
Maskirbi antara penyair yang sering menyuarakan kehadiran Tuhan. Desah nafasnya selalu bergetar oleh kerosakan dan kebrandelan manusia. Namun Allah menghilangkan suara Maskirbi sebagai saksi. Allah menjemputnya bagi menyatakan apa yang dikatakan adalah benar dan selalu nyata bagi insan yang selalu menyeru dan mengingatinya. Maskirbi pilihan Allah dari sejumlah penyair lain. Maskirbi aman di sisinya, insya Allah..
Esok 26 Desember kali yang ke 6 bagi tsunami. Bagi mereka yang mengalami tragedi secara terus, ini adalah empati yang sangat diharukan. Bagi simpatis yang mengimbau dari jauh, juga masanya berpantisan secara jauh dengan berhulur doa. Bagi saya, ziarah tsunami ini amat berarti. Sangat memberi harga yang luarbiasa. Kepada saksi mata dan benturan jiwa, saya ucapkan takziah. Mereka terkorban untuk kita menikmati sedikit kecerahan. Begitu Allah mengantarkan kebahagiaannya dengan sedikit sengsaraan di dalamnya.
diposkan di fb pada 28 Desember 2010, jam 17:13
*Djazlam Zainal, Kritikus sastra menetap di Melaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar