Oleh: Dimas Arika Mihardja
PASCA TRAGEDI TSUNAMI, penyair Indonesia dan bahkan penyair dunia tiada henti-hentinya menggubah puisi dalam berbagai persepsi dan perspektif. Terkait dengan tragedi tsunami ini, Lapena (Institute for Culture and Society) menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi yang tidak hanya estetis, reflektif, imajinatif, inspiratif, melainkan juga menawarkan lanskap nilai-nilai himanis. Sebuah buku “Ziarah Ombak” (Lapena, 2005: 238 hlm ; 21 cm ISBN 079-3457-64-3) dieditori oleh D Kemalawati dan Sulaiman Tripa, serta dilengkapi pengantar oleh Ahmadun Y Herfanda. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai resensi buku yang tidak hanya indah dan menggugah ini, melainkan difokuskan pada sebuah sajak yang menurut pertimbangan saya dapat mewakili maksud dan tujuan penerbitan buku ini, yakni “ziarah kemanusiaan”.
Sebuah sajak yang merebut perhatian saya berjudul “Sajak untuk Pelukis Ombakku” karya D Kemalawati (Meulaboh, 2 April 1965). Hal yang menarik, pertama-tama D Kemalawati merupakan seorang pendidik (guru Matematika di sebuah SMK). Guru pelajaran matematika ini rupanya banyak berkiprah di dunia kesenian, sosial dan kebudayaan. D Kemalawati tercatat duduk di komite sastra Dewan Kesenian Banda Aceh, aktivis dan pendiri Lapena, dan berkiprah dalam penulisan kreatif berupa puisi, cerpen, dan novel. Semua genre yang dihasilkannya menawarkan lanskap pemikiran dan perenungan yang layak dijadikan lahan kajian. Dalam kajian yang sederhana ini, kiranya menyusuri riak dan ombak perasaan D Kemalawati yang tertuang dalam “Sajak untuk Penyair Ombakku” akan terasa asyik dan menarik. Kita mulai menyisir riak dan ombak perasaan penyair dari Serambi Mekah ini. Kita cermati bait pertama sajaknya:
apakah artinya sajakku ini
ketika ombak yang kau lukiskan di kanvas biru
tak lagi mendamaikan hatiku
buihnya tak putih lagi membelai tepian
ia telah murka
tubuhnya yang jenjang menyentuh langit
menerkam apa saja.
Riak dan ombak perasaan yang diperas oleh D Kemalawati untuk mengungkapkan rasa tak tenteram (tak mendamaikan hatiku) mulai terasa menyergap emosi pembaca. Riak dan ombak perasaan penyair mengalirkan sensasi imajinatif yang luar biasa, sebab “ia telah murka…menerkam apa saja”. Pembaca dapat merasakan gelegak perasaan menyergap di awal puisi. Imajinasi pembaca lantas bisa membayangkan betapa dahsyat gelombang tsunami yang “murka” dan melindas apa saja (“menerkam apa saja”). Sepintas kilas, gambaran ombak itu begitu sederhana, namun lantaran teks yang digubah oleh penyair adalah puisi, maka sesungguhnya di dalamnya menyimpan sebuah rahasia. Rahasia yang mungkin saja hanya penyairnya yang tahu, misalnya, siapakah yang dijadikan acuan “pelukis ombak” pada judul? Apakah referensinya mengacu pada sosok manusia pelukis, atau justru memiliki makna simbolis, yakni “Sang Pelukis Agung” serupa dalam lagu anak-anak berjudul “Pelangi”? Dua referensi ini (merujuk ke manusia dan Allah) terpapar dalam puisi yang indah dan menggugah ini.
Sebuah teks puisi itu sesungguhnya berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, struktur rumit, serta ditulis dengan medium bahasa yang rumit pula. Oleh karena itu, teks puisi perlu ditafsirkan untuk memperjelas arti dan maknanya. Teks puisi adalah karya seni. Oleh karena itu, harus diterangkan sampai sejauh manakah nilai seni karya teks puisi itu. Analisis dan penafsiran teks puisi harus dihubungkan dengan penilaian (cf. Wellek, 1968:156). Ketiga aktivitas kajian puisi tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena ketiganya saling erat hubungan dan saling menentukan.
Hidup dan kehidupan yang tergelar di dunia ini terasa penuh misteri. Ombak bisa “menerkam apa saja” dan tak pernah diperkirakan oleh manusia. Tidak peduli “apakah pagi itu engkau masih membedaki/punggung suamimu/yang lelah berbaring seharian/ memandikan sikecilmu/sambil mencandai keningnya yang lucu/atau sedang menyisir rambut keriting gadismu yang ayu”. Ombak yang menggulung apa saja dan berada di luar perkiraan manusia adalah misteri, penuh tanda tanya, dan kita selaku manusia berusaha keras mendapatkan jawabannya. Jawaban atas pertanyaan itulah pada akhirnya yang membuahkan makna dan nilai penting dalam kehidupan manusia yang terdedah pada puisi ini.
Berbagai masalah kehidupan, baik berupa peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sesuatu yang dialami oleh penyair D Kemalawati, dan berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan, pemikirannya diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik teks puisi tersebut realisasinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi penyair D Kemalawati selaku kreator. Penyair yang kreatif akan dapat menghasilkan teks puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri. Teks puisi dibentuk dan diciptakan oleh sastrawan berdasarkan desakan emosional dan rasional. Puisi menurut wawasan Luxemburg , merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, dan bukan sebuah imitasi. Oleh karena itu, wajar apabila unsur-unsur pribadi sastrawan seperti pengetahuan, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dan konsepsinya meronai puisi yang diciptakannya.
Bagaimana kompleksitas pemikiran dan perenungan D Kemalawati dapat kita resapi melalui bait 3 dan 4 seperti kutipan ini:
apakah arti sajakku ini
ketika aku tak bisa menerka
di belantara mana jasadmu kini
engkaukah yang masih terbaring
di antara tubuh legam, kaku dan kesepian
terjepit di antara puing-puing reruntuhan
engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam
ditumpuki di pinggir-pinggir jalan
tanpa air terakhir dan kain kafan
engkaukah itu yang hanya diantar relawan
ke liang-liang panjang pekuburan
tanpa kutemukan batu nisan
Secara fisik, puisi terungkap melalui pemaparan bahasa yang penuh dengan simbol, bahasa kias, dan gaya bahasa lainnya. Penggunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa oleh penyair D Kemalawati dimaksudkan untuk memadatkan pengungkapan dan mengefektifkan pengungkapan. Dengan pemakaian simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa tersebut, D Kemalawati dapat menciptakan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas. Pada bait 3 dan 4 seperti telah dikutipkan itu tergambar dan terpapar tragedi tsunami secara jelas di mata batin pembacanya.
Perasaan miris,tragis, sedih, penuh tanda tanya, keraguan dan sebagainya bercampur aduk dengan pemakaian lambang, kias, dan gaya bahasa yang menyeret perasaan dan batin pembacanya seolah-olah pembaca dapat merasakan langsung tragedi tsunami yang menelan banyak korban bergelimpangan di jalan, dibungkus plastik hitam, lalu dikuburkan secara massal tanpa batu nisan.
Intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam bait-bait sajak D Kemalawati. Intensifikasi merupakan upaya penyair memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespondensi merupakan upaya sastrawan menjalin gagasan menjadi satu kesatuan. Musikalitas merupakan upaya penyair mempermanis, memperkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya. Dengan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas yang baik D Kemalawati mampu menciptakan puisi yang mempesona serta memusat dalam perenungan.
Dalam sajak gubahan D Kemalawati penuh dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis, etis, dan estetis. Kita nikmati bait 5 berikut ini:
kepada siapa lagi kutawarkan sajakku
agar menjadi talenta dalam geliat warna
memaknai kaki telanjang ini
aku lelah menyusuri lorong-lorong hampa
mencari jejak rumahmu
menemukan lukisan-lukisan di dindingnya
atau memungut kuas kecil
saat kaulukiskan ombak itu
Dalam pertanyaan filosofis, etis dan disajikan secara estetis ini terdedah sebuah realitas bahwa aku lirik merasa hampa. Perasaan hampa itu lalu menyeret langkah kakinya untuk menemukan rumah yang pada dindingnya bergantung aneka lukisan ombak. Pembaca oleh D Kemalawati diseret ke sebuah gambaran kehampaan lantaran “pelukis ombak” yang dicarinya itu tiada diketemukan jejaknya, hilang digulung ombak tsunami. Dalam situasi serupa itu lalu muncul sebuah kesadaran yang dituangkan oleh D Kemalawati dalam bait terakhir sajaknya, seperti ini:
aku kini hanya bisa memandang ombakku
dalam lukisanmu
dalam ikhlas zikirku, tahlilku, tahmidku
kumohonkan pada-Mu ya Allah
sucikan jasad saudara-saudaraku
yang pulang dalam gemuruh ombak-Mu
Sajak yang digubah oleh D Kemalawati selama dua hari ini (9-10 januari 2005), pada akhirnya menunjukkan kepada pembaca betapa luapan emosi, perasan perasaan penyairnya mampu menggambarkan riak-ombak-dan bahkan gelombang persoalan besar. Ombakku dan ombak-Mu pada akhirnya bermuara pada sikap tulus ikhlas mendoakan agar arwah korban tsunami, “si pelukis ombak” dapat sampai di hadapan Ombak-Mu, yang diharapkan dapat mensicikan jasad-jasad saudara-saudara di Aceh yang terkena gulungan ombak pada 26 Desember 2004. Demikianlah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar