oleh : D Kemalawati
Sebuah puisi kadang menempati ruang sangat pribadi, kadang menjadi sangat universal dan mewakili banyak pribadi. Bila menempati ruang pribadi, puisi akan sangat privasi. Orang yang akan melihat, menghampiri dan menjamahnya tak akan melebihi dari kerabat sendiri. celakanya lagi, bila kerabat yang datang bertandang hanya memandang dari pintu, lalu berlalu tanpa meninggalkan sesuatu. Maka puisi yang ditinggal pergi itu akan membeku sepanjang waktu.
Memulai catatan hari ini, akan kukisahkan tentang puisi yang secara tiba-tiba menyeretku pada pemikiran sebuah ruang. Puisi-puisi yang kutulis sebagai catatan harian kadang kukirimkan kepada seorang teman penyair, kadang lebih dari satu orang, bahkan beberapa orang melalui sms. Kadang juga melalui catatan di fesbuk dengan menandai teman-teman sesama penulis. Dan sebuah puisi berjudul "MENGEJA PERTEMUAN" yang kutulis malam tadi dan kusimpan sebagai bagian dari konsep dalam olah pesan di telpon genggamku, sekira pukul setengah sepuluh tadi pagi kukirim ke teman penyair dengan sebutan penyair Sexy 'Dimas Arika Mihardja'. Kebiasaan mengirim, membalas, bahkan menjadikan puisi bersama menjadi satu judul puisi telah kami lakukan sebagai siaturrahmi suara hati. Kadang tempat yang terpisah ribuan kilometer dari Jambi ke Aceh menjadi sangat dekat. kami seperti sedang duduk di beranda rumah, bersendagurau, memperbincangkan arah sastra yang gelisah, tanpa sekali pun menggundahkan kehidupan pribadi. Dimas membalas puisiku dengan pesan singkat, 'puisi ini nanti akan kubalas seusai ngajar kajian puisi'.
di catatan ini, aku tak akan memperkenalkan siapa Dimas Arika Mihardja, karena tentang beliau, kiprah dan karyanya mudah sekali dilacak di dunia maya. Tapi bagaimana puisi akhirnya menemukan ruangnya sendiri setelah berbagi.
Berikut puisi Mengeja Pertemuan, versi awal sebelum revisi dan kukirim ke mas Dimas
MENGEJA PERTEMUAN
D Kemalawati
pertemuan pertama
retina matamu tak menyimpan apa-apa
selain sebentuk bulan
di batas langit sebelum senja
selapis kabut tipis turun ke laut
aku mendengar bisik pasir setelah
gelombang menjauh
pertemuan kedua
kemboja kuning di antara merah apel
dua bungkus teh di atas meja
air panas sisa menyeduh kopi
langit petang dan sisa gerimis di menara
senyummu tak berbaris
awan kembali mengambang
pelupuk mata menjadi kolam
aku mulai menjaga riaknya
beberapa teratai kuundang
menutupi permukaan
pertemuan ketiga
tak kutemukan mantra
kaki malam merayap tanpa dupa
asap mengepul di kamar tidur
perih mata mengeja tanda
kutemukaan jarak langit dan
kaki pelangi
separuh ilalang terbakar di dada pagi
setelah tak jadi mimpi
pertemuaan tak lagi dinanti
Banda Aceh, 3 januari 2011
Setelah mengirim ke mas Dimas, beberapa kali sempat kubaca ulang puisi tersebut sebelum akhirnya aku tertidur karena pengaruh obat demam yang kuminum setelah makan siang mulai bereaksi. Aku tak tahu berapa lama aku tertidur saat sayup-sayup suara ketukan tanda pesan masuk berdentang dari telpon genggamku.
Balasan puisi mas Dimas.
Di atas layar merah, huruf -huruf berwarna putih kubaca hati-hati
MEMORI PERTEMUAN
Dimas Arika Mihardja
sajak diam Adam
panggung apresiasi 60 tahun Tardji, Alia Cikini
Adam mengisyaratkan bahasa diam
inong balee bergegas menyapa sore
seulas senyum tersaji di lobi Alia Cikini
sampai pagi
lalu di hotel Pelangi
jelang senja
kita menuai gerimis
angin membadai di bibir pantai
anjung cahaya
lalu lapena
memantapkan tatap
penuh gelora
Jambi, 4 Januari 2011
Ada tiga pertemuan yang kutulis dalam puisiku. Masing-masing bait mengabadikan perasaan yang kurasakan dan sebagai kenangan. Sangat pribadi.
Aku terhenyak dan mulai sadar, ketika peluncuran buku antologi puisi 3 Di Hati karya kami bertiga (Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja, D Kemalawati) yang diterbitkan Lapena Banda Aceh, 23 Desember 2010 di Banda Aceh, aku dan mas Dimas bertemu untuk ketiga kalinya setelah pertemuan pertama di hotel Alia saat kami sama-sama mengisi pentas apresiasi puisi Sutardji Coulsum Bahri, pertemuan kedua pada Temu sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang dan ketiga di Banda Aceh. Mas Dimas membalas puisiku dengan memori pertemuan yang memberi penanda tempat pertemuan.
Sebagai sebuah tulisan ringan hari ini, aku mencatat tentang ruang yang dihuni puisiku "Mengeja Pertemuan". Sesungguhnya setelah berbagi meski dalam bayang ia sudah berjalan dari ruang privasi menuju ruang yang lebih terbuka dan dimaknai oleh siapa saja.
salam D Kemalawati
maaf OOT, mbak kemala. sekadar mencoba komentar di blog yang mencerahkan ini. semoga bisa submit. salam budaya!
BalasHapuswah, ternyata bisa gitu, kok, mbak. kali aja temen mbak kemala yang komen lupa ndak memasukkan kode anti-spam-nya!
BalasHapusya mas. semoga nanti juga beliau bisa komen. trims ya. salam
BalasHapusAku merasakan sebuah sensasi yang asyik membaca catatanmu ini De, ruang privasi ketika dibawa ke ruang publik memunculkan persepsi dan perspektif baru. Aku jadi malu dan terharu saat membalas puisimu itu, tetapi terus terasang puisimu memang "merangsang" kok hehehehehe
BalasHapusBegitu sering puisi yang kutulis semula kurasa ia hanya menempati ruang privasiku, semakin sering kita silaturahmi kata, ruang tegur sapa yang sederhana ternyata mengalir menuju muara yang lebih luas menuju samudra.
BalasHapus