oleh Djazlam Zainal
Keranda-Keranda adalah kumpulan puisi 25 penyair Aceh yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Banda Aceh dengan kerjasama ELSAM dan Koalisi HAM Aceh pada tahun 2000. Sambutan Ketuanya, Helmi Hass, Keranda-Keranda diterbitkan bagi mengetengahkan tragedi-tragedi Aceh untuk menjadi catatan sejarah bagi generasi mendatang. Dan setelah hampir 10 tahun berlalu, ia benar-benar menjadi catatan paling bermakna terutama bagi saya yang ingin melihat sendiri situasi yang begitu tragik sekali. Tetapi sebagai permulaannya, saya memfokuskan kepada kepenyairan De Kemalawati sebagai penyair dan aktivis sastra yang masih kukuh hingga ke hari ini. Dan catatan pengalaman saya mengenali beliau seeratnya. Pun istimewanya, beliau satu-satu penyair wanita daripada 25 penyair dalam Keranda-Keranda. Suatu yang harus digali sedalam mungkin.
De Kemalawati dilahirkan di Meulaboh pada 2 April 1965 dengan nama asalnya Halimatus Sakdiyah sebelum diubah menjadi Cut Kemalawatini. Menulis puisi sejak di bangku SLTP, memiliki Sarjana Matematika, FKIP Unsyiah, Banda Aceh dan berkhidmat sebagai seorang guru. Selain guru, beliau juga penari dan pembaca puisi yang baik. Semasa kuliahnya, pernah bergabung dengan teater improvisasi dan juga Ketua Komite Tari Dewan Kesenian Banda Aceh yang dikemudi oleh suaminya, Helmi Hass. Melalui Keranda-Keranda, De Kemalawati menulis 4 buah puisi iaitu Yang Pergi di Waktu Malam ( hal. 65 ) Fragmentaria Darah ( hal. 66 ) Surat dari Negeri Tak Bertuan ( hal. 69 ) dan Prahara ( hal. 71 ) Biodata penulisnya disisipi dengan photo yang sangat muda berbanding sekarang. Hingga saya beranggapan ini wajah ketika kuliahnya dan menjadi buruan banyak pria. Namun, bagi saya kekaguman yang sebenar adalah kekuatan staminanya sebagai aktivis sastra dan budaya yang paling dikagumi. Pernah saya katakan, setelah pemergian almarhum bapak A. Hasjmy, Aceh bergantung sepenuhnya pada De Kemalawati terutamanya bagi hubungan antarabangsanya.
Puisi pertamanya, Yang Pergi Di Waktu Malam, beliau menulis,
Aku masih terjaga menanti kepulanganmu
betapa malam telah sepi
desahmu penuh duka
" tadi malam aku lupa berjaga
padahal sebelum kujenguk dia
terpikir olehku kamera
dia telah pergi
tanpa sempat kuabadikan deritanya "
" sudahlah sayang " ucapku
" sungguh sudah sangat banyak yang telah pergi
sementara tubuhmu pun akan semakin rapuh "
" aku hanya ingin kau tahu tentang perawan yang
disetubuhi peluru itu telah pergi selamanya "
Aku tersenyum
Kau semakin meradang
" begitu mudahnya memutuskan tali kehidupan
hingga wanita yang terkapar diberondongi selangkangannya
ah. percuma kaujadi ibu, " gerutumu makin panjang
Nun di sana di awan-awan Yuni melambaikan tangannya padaku
Gadis belia itu tersenyum melangkah di antara kembang putih
wanginya tercium ke bumi
( Banda Aceh, 10 Mei 1999 )
Ya, seperti apa puisi ini? Bagi pembaca yang tidak punyai latar atau kelongsong peristiwa, ia adalah puisi biasa. Tetapi bagi penulis yang punya pengalaman dan daya pengamatan, ia adalah suatu luahan yang tak tertahan untuk diendap dan dikenangkan. Lantas meluncur sebagai sebuah puisi yang lahir dari darah dan perasaan. Saya telah menulis puisi antara barisnya berbunyi,' getar suara inong baca puisi ibunda/ debar dada agam meninggal isteri melahirkan anak tanpa penjaga! ' ( Aku Pulang IV, Melaka, 2010 ) Sebenarnya puisi ini adalah puisi pengalaman benar De Kemalawati dan suaminya, Helmi. Dan melalui puisi Yang Pergi Di Waktu Malam adalah puisi peristiwa benar penyairnya. Ini kerana dialog dan beberapa petanda lain seperti kamera menyakin saya tentang keduanya. Dialog itu pernah diceritakan kepada saya dan suaminya Helmi yang bertugas sebagai seorang reporter sentiasa berburu waktu dalam suasana getir peristiwa DOM ( Daerah Operasi Militeri ) sepanjang hari. Peristiwa sedemikian sadisnya berlaku secara rutin hingga Aceh menjadi lapangan penyembelihan ( killing field ) yang tiada tolok bandingnya di Asia Tenggara. Dari sisi lain cerita penyair ialah beliau pernah ditinggalkan sendirian ketika melahirkan anak kerana suaminya repot dalam gelita malam jahanam di tengah kota. Dan semuanya dilahir dalam puisi.
Bagi saya, kemampuan ibu beranak tiga ini bertahan dalam kegiatan puisi dan budayanya ialah kerana rasa kebertanggungjawapannya terhadap tanah air. Dinamai Cut Kemalawatini cukup bermakna pada batang tubuh penyandangnya. Dan beliau sedang melanjutkan perjuangan Cut Nyak Dhien dengan pena.
Melalui puisi kedua Fragmentaria Darah, sebuah balada yang agak panjang, De Kemalawati hanya bisa bertanya. Katanya,
Kala pencarian makin membingungkan
seberkas sinar memantul kegeraman
wajah-wajah ketakutan satu-satu melintas di sana
tak seorang pun mampu menolongnya
Ini adalah ketakutan dari peristiwa DOM tersebut.
Ketika cahaya makin terang menyinari
layar makin lebar terbuka
seluruh dunia terpana
amarah kita terguncang
urat nadi kita bergetar
jiwa dan raga kita terbakar
gemerlap cinta kita pudar
Peristiwa DOM ini sempat cecer ke pengetahuan dunia. Namun dunia hanya terpaku dan tercokol begitu saja atas pegangan tidak mencampuri hal ehwal dalam negari tetangga.
Kita terkulai menyaksikan diri kita
yang terluka tersayat di jiwa
merintih dalam kepapaan sukma
bertahun-tahun terkurung tanpa ada
yang membuka jendela
bertahun-tahun memikul beban, tak seorang pun
mampu menolongnya
bertahun-tahun berkaca mencari kekurangannya
bertahun-tahun mengusap data menentramkan jiwa
Rasa kekesalan penyair tentang solidariti yang entah ke mana perginya di kalangan ketua negara, pertubuhan bangsa-bangsa atau suara penyair yang seakan bungkam dan menutup mata dan telinga.
Lihatlah di sana
mayat-mayat bergelimpangan
bumi ini basah
berdarah
laki-laki tanah rencong telah jadi tumbal
bukan rahasia
wanita-wanita mulai menjadi sandera
bukan cerita
wahai, betapa jiwa kita tak retak
penindasan-penindasan telah sampai
ke ubun-ubun sakitnya
masih juga harus menyaksikan
mereka berlalu melenggang tenang
Inilah cerita sebenar. Kesadisan dan keperimanusiaan menjadi barang mainan. Penyair akhirnya menyerahkan.
Wahai
cukuplah sandiwara ini sampai di sini
bukalah layar untuk keadilan
bukan pelampiasan kesewenang-wenangan
Sungguh luarbiasa penyair menyatakan kesangsiannya. Sebagai penyair wanita, derita yang dilalui cukup mengesankan. Bait-bait pilihannya adalah dari darah yang mengalir genas di tubuhnya. Dan dia tidak pasti siapa penolong dan pembebasan tanah rencongnya yang telah disergap dan diguakan daripada pengetahuan dunia. Seluruh rakyat Aceh di GAM oleh DOM dan dunia luar yang didatangi warga Aceh. Sungguh laranya, penyair.
Barangkali kerana itulah, penyair melayangkan Surat dari Negeri Tak Bertuan untuk pengetahuan dan solidariti penyair. Katanya,
Sahabatku, inilah suratku dari negeri tak bertuan
sebenarnya telah lama sangat
berita ini ingin kukabarkan
tetapi seperti kau juga
aku selalu terjaga setiap malam
untuk menenangkan diri
bahwa kuku-kuku panjang
yang dulu merobek-robek hikayat negeri kita
terlalu keras mencengkram bumi
hingga kini mengalirkan airmata darah
Aku jadi malu pada diriku
sungguh telah membiarkan cerita luka terkubur
dalam batinku tanpa menceritakan padamu
tapi kuyakin
kau juga telah banyak tahu
tentang tanah dan airku
yang kini berwarna merah
Dikeranakan tabir telah terbuka
tak ada yang harus kusembunyikan
ingin kubertanya padamu
tentang wajah kami
apakah benar berwajah serigala
hingga pemburu beradu cepat
mengangkat senjata
kalau benar katamu
apakah kami harus punah
bersimbah darah
tolonglah aku
jawablah pertanyaanku
kerana kamulah yang masih bisa kuajak bicara
sejak mereka memalingkan muka
Begitulah berbagai usaha penyair untuk menyampaikan risalahnya kepada dunia. Segala usahanya itu disampai dengan puisi. Negeri Tak bertuan adalah tanah rencong yang tidak punya kudrat dan kuasa dan sedang diobrakabrikkan oleh militer. Aceh seperti tiada pemerintah. Siapa tuan di Aceh? Kenapa seenaknya pusat menghantar militer dan menembak sewenangnya umat Aceh? Hanya dengan bermodalkan GAM, darah ditumpahkan dan tindakan keji mereka dihalalkan. Kalau Bosnia-Herzegovina mendapat perhatian dunia, Aceh tertutup langsung. Suara mereka seperti dibungkamkan. Wanita sebelum dimusnahkan harus diperkosa. Di mana hak asasi manusia? Di mana women lip dengan perkosaan yang terang-terangan ini? Apakah kerana ia berlaku di negara Islam dan serambi Makah? maka didiamkan begitu saja? Inilah isi Surat Dari Negeri Tak Bertuan. Keluhan yang sarat tetapi terus didiamkan. Namun penyair telah menyampaikan walaupun kesannya bukan pada masa terdekat tetapi akhirnya ia tersampaikan juga. Dan barangkali suara dan doa lebih terdengar oleh Yang Berkuasa. Hingga dengan kun fayakunnya, diutuskan air ( tsunami ) sebagai penamat sengsara. Allah juga mengirimkan ababil pada tahun gajah sebagai pertolongannya.
Puisi ke 4nya ialah Prahara. Prahara lebih nyali menyatakan sikap penyair.
Keributan ini bukan teka-teki
prahara mengirim kabut mengental di ketiak pohon
masih mendengus kelihatan diterkam
untuk teriak lantang butuh waktu
Angin kali ini bukan angin malam
sepoi-sepoi basah
badai di tepian pantai menumbangkan pohon
hingga ke akarnya
sungguh bila ini petaka
siapa lagi korbannya
Kegelisahan terpantul lewat kaca yang ditabalkan
mau apa lagi keberadaan di akhiri ketiadaan
bukan sekedar mimpi buruk
atau imajinasi sang penyair
luka pada kaki yang dirantai tak melemah
apa lagi terkubur
kecuali lelaki yang punya nyali
tak berkoar di tepi
Prahara dicipta lebih awal iaitu pada tahun 1993 berbanding 3 buah puisinya yang lain iaitu 1998 dan 1999. Ini bermakna sejak awal lagi benturan prahara di Aceh memang telah mencengkam jiwanya. Baginya, keributan-keributan yang terjadi bukan hanya peristiwa kecil seperti katanya, ' sepoi-sepoi bahasa/ tetapi badai di tepian pantai yang menumbangkan pohon ' Dan penyair mengantung harap pada ' lelaki yang punya nyali/ tak berkoar di tepi ' Siapa lelaki tersebut? Apakah yang dimaksudkan Hasan di Tiro? Kalau dihayati sosok Hasan barangkali benar. Hasan melompat ke idea yang lebih radikal. Mungkin kerana Darul Islam kalah, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Kerana bila ditanya apakah beliau percaya pada kemungkinan mencapai perdamaian, beliau menjawab, Aceh selalu menginginkan perdamaian. Kami berjuang demi sebuah perdamaian yang bermartabat...( Lilianne Fan, Hasan di Tiro The Unfinished Story of Aceh, 2010 ) Demikianlah penyair menyandarkan harapannya. Dan apakah ia tercapai?
Dalam kekalutan sedemikian hebat, tanggal 26 Desember 2004, Aceh dilanda tsunami. Keperitan yang berganda. Aceh kehilangan puluhan ribu jiwa. Antaranya para penyair dan wartawan yang selama ini membelakangi kegiatan sastra. Barangkali kalau tiada nyali, penyair Aceh bisa roboh pribadinya. Tetapi begitulah keutuhan penyair. Tawakalnya kepada Allah dan pergantungan tidak berbelah bagi. Setelah 6 tahun tragedi tsunami, rahsia Ilahi ini telah terbongkar. Tsunami adalah pertolongan Allah atas doa orang teraniaya. Kini Aceh menerima sedikit keterbukaan dan sedang mengarah kepada kecerahan masa depan. Aceh mula terbuka kepada dunia luar. Prasangka buruk Aceh dapat sedikit dilenyapkan. Kerana penyair pernah menyesali keadaan, apabila ke luar negara harus ditanyai tentang GAM dan narkoba. Apakah Aceh begitu hina di mata luar? Sebenarnya ini adalah rencana-rencana yang dihulur oleh tangan-tangan gelap di belakang vandalisme Aceh. Kini semuanya telah berakhir. Dan De Kemalawati masih berdiri kukuh dengan perjuangannya melalui puisi.
Saya sangat menghalusi segala lontaran suara penyair dalam Keranda-Keranda. Antaranya ialah penyair alh. Maskirbi yang hilang oleh petaka tsunami. Puisi Kesaksian ( hal. 30 ) saya hayati ketika dibaca oleh De Kemalawati di hari peluncuran antologi 3 Di Hati. Sangat luarbiasa penghayatannya. Dan saya akan mengulasnya pada kesempatan yang lain. Sesungguhnya, Aceh sebuah wilayah anugerah Allah yang cukup istimewa. Jangan dilihat sengsaranya tetapi hargailah keteguhan imannya. Anda akan merasai itu bila menghayati Aceh. Aceh Darussalam daerah istimewa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar