D Kemalawati
Sejak pagi udara kota Banda Aceh terasa tak bersahabat, lembab dan basah. Menjelang pukul sebelas siang tetes hujan yang semula gerimis menjadi demikian deras mengguyur seluruh kota. Di halaman depan kantor Walikota Banda Aceh, panggung hiburan berlatar hitam telah dipenuhi dengan alat musik, juga soundsystem yang ditata sedemikian rupa sehingga kesan meriah dan ramai langsung kelihatan. Ada perasaan gundah dari panitia apabila cuaca terus tak bersahabat. Acara Grand Launching Visit Banda Aceh Year 2011, yang sudah beberapa lama dipersiapkan dengan lokasi panggung terbuka di halaman depan kantor Walikota, sekaligus memanfaatkan trotoar dan jalan Abu Lam U hingga Taman Sari, tidak dapat terselenggara secara maksimal bila diguyur hujan lebat. Adek Musik yang mengkoordinasi acara, ketika saya hubungi untuk gladi resik setelah shalat dhuhur, mengatakan kalau keadaan belum memungkinkan untuk gladi. Hujan terus mengguyur kota. Dan saya masih mempersiapkan puisi yang akan saya baca malam nanti.
Semula panitia mengharap beberapa kami seniman yang dipilih untuk testimony tentang kota Banda Aceh dengan nama acara Sekapur Sirih Seniman Aceh. Beberapa nama disebutkan Moritza Thaher, musisi Aceh yang telah menggaransemen banyak lagu ketika mengajak saya mengisi acara. Mereka adalah: Syeh Lah Genta, syeh Seudati yang sangat terkenal di Aceh, M Yusuf Bombang si Apa Kaoy, pelantun nadham dan hikayat Aceh, T Januarsyah sang Ampon Yan, comedian dan teaterawan Aceh, Jamal Abdullah dari Komunitas music Talo, Mujiburrahman sang Raihan Aceh, Nova Eliza, artis nasional putri seniman besar Aceh yang mantan bupati Pidie almarhum Nurdin Ar, dan saya D Kemalawati. Selaku seorang pegiat sastra, saya harus pastikan apa yang harus saya katakan untuk testimony tersebut. Kepada Momo, panggilan akrab Moritza Thaher saya beritahukan kalau saya baru selesai menulis sebuah puisi tentang sejarah yang beralamat di sepanjang jalan Sulthan Iskandar Muda. Saya akan bacakan itu saja, kata saya pada Momo.
Beberapa hari kemudian saya ditelpon Adek, yang saya kenal sebagai seniman musik. Saya pernah bekerja sama dengan Adek ketika ia dan Rahmad Sanjaya menggarap album musikalisasi puisi dimana saya ikut mengisi baca puisi di studionya hampir dua tahun yang lalu. Adek menjelaskan bentuk acara yang akan saya isi. Merasa kurang jelas di telpon, saya mengajak Adek bertemu di Keude Kopi Apa Kaoy pada malam peluncuran buku Burung-burung Bersayap Air karya penyair asal Bogor, Dewi Nova. Malam itu (22 Januari 2011) sebelum saya tampil ke atas panggung membicarakan buku puisi Dewi Nova, Adek datang bersama bayi perempuan cantik di gendongan istrinya. Dia menghampiri saya dan kembali menjelaskan bentuk acara yang telah direncanakan panitia. Dari tulisan buku puisi Burung-Burung Bersayap Air, layar laptop saya menampilkan sebuah puisi ‘Mereka Berbaring Dalam Kenangan’. Adek membacanya dengan serius. “Tepat kak” , serunya. “Puisi ini sesuai dengan maksud kita, renungan.” Saya memberikan alamat blog saya untuk Adek mengcopy puisi tersebut. Sebelum berlalu, Adek mengabarkan kalau kami akan tampil bersama Teuku Wisnu, aktor sinetron asal Aceh pemeran Farel di serial Cinta Fitri. Teuku Wisnu diharapkan akan berbicara tentang kota Banda Aceh dalam ‘sekapur sirih seniman Aceh’.
Menjelang ashar, sebuah pesan pendek masuk ke handphone saya. Gladi resik dimulai pukul 16.00 WIB, diharap hadir tepat waktu. Hujan sudah reda. Matahari sore kembali menampakkan sinarnya. Memasuki jalan Abu Lam U di seberang Mesjid Raya Baiturrahman, tanda dilarang masuk dari tiga kerucut terpancung berwarna merah putih setinggi lebih dari 50 cm milik polantas, telah menjadi penanda bahwa akan ada suatu hajatan tak jauh di depan sana. Ternyata panitia benar-benar siaga. Proses gladi segera dimulai. Meski para pemasang teratak terus bekerja. Tangga besi berkaki empat terus berpindah dari satu tiang ke tiang lainnya untuk merapikan terpal. Dan di trotoar, karpet hitam sedang digelar. Langkah kaki panitia dan pengisi acara naik turun tangga menuju panggung yang di bawahnya bening air mengalir lancar dari riol yang lebar dan dalam, tak mempengaruhi para pekerja. Mereka bergegas menyelesaikan pekerjaannya karna beberapa saat nanti para pembesar Aceh akan duduk di bawah tenda dan kaki mereka berada di atas karpet polos berwarna dongker. Tentu saja para pekerja tersebut juga tak mau ketinggalan menikmati persembahan spektakuler dari para seniman kota Banda Aceh malam nanti.
Di belakang panggung saya lihat penyanyi terkenal Aceh, Rafli sedang menunggu giliran chek sound. Kami saling bertegur sapa sesaat. Di roundown acara saya lihat Rafli akan mengisi acara puncak malam nanti dan diakhiri penyanyi ‘Kuthidhing’ Lisa Aulia. Dapat saya bayangkan bagaimana kedua penyanyi ini bakal menggebrak penonton untuk ikut bernyanyi bersama. Lagu-lagu mereka sangat akrab di telinga warga Aceh. Dari panitia, saya mendapat kabar bahwa yang sudah sudah pasti mengisi ‘Sekapur Sirih Seniman Aceh’ selain kami dari Aceh hanya Nova Eliza, sedangkan Teuku Wisnu akan mendampingi Walikota dan Ibu wakil Walikota menabuh Rapai menandakan Grand Launching Visit Banda Aceh Year 2011.
Setelah shalat isya, acara pun dimulai. Warga Banda Aceh sudah penuh sesak di sayap kiri dan kanan panggung. Di depan panggung, di bawah tenda sudah hadir pejabat teras kota Banda Aceh. Di samping kiri Walikota Mawardi Nurdin yang memakai pakaian Aceh berwarna hitam lengkap dengan kupiah Meuketop, duduk seorang pemuda berpakaian serba gelap. Pemuda ganteng yang duduk tenang itu dengan mudah dikenali, dialah Teuku Wisnu yang sengaja hadir untuk bersilaturrahmi dengan warga kota Banda Aceh. Di sebelah kanan bapak Walikota duduk ketua DPRA Hasbi Abdullah dengan beberapa anggota dewan lainnya. Beberapa wanita cantik lainnya yang duduk di sebelah kiri walikota antara lain, wakil Walikota Banda Aceh Hj Illiza Saaddudin Djamal, yang malam itu kelihatan sangat cantik dengan pakaian muslim warna hijau kombinasi orange. Di sampingnya tak kalah cantik istri walikota Banda Aceh, ibu Titiek Mawardi Nurdin. Acara diawali dengan tarian 'Peumulia jamee', yaitu sebuah tarian penyambutan tamu istimewa yang dipersembahkan oleh sanggar binaan Malahayati pimpinan ibu Titik Mawardi Nurdin. Selanjutnya pembacaan gema wahyu Ilahi dengan sangat indah. suasana benar-benar senyap. Warga seakan larut dan khusuk mendengarkan lantunan ayat-ayat suci. Kemudian suasana berubah kocak ketika teater Kosong dengan komediannya mulai beraksi. Tentu saya tak bisa menikmati banyolan khas keluarga Ampon Yan karena saya harus siap-siap di belakang panggung. Sementara saya masih membaca-baca ulang puisi saya, menjaga intonasi, penekanan-penekanan dan penghayatan. Hal ini memang selalu saya lakukan menjelang tampil. Apalagi puisi yang akan saya baca baru selesai saya edit ulang sesaat sebelum berangkat ke tempat acara.
Karena nama acaranya ‘Sekapur Sirih Seniman Aceh’ maka ketika tampil membuka acara, saya mengatakan bahwa selaku warga Banda Aceh, saya menyimpan banyak kenangan di setiap sudut kota. Malam ini sebagai renungan kepada warga Banda Aceh, saya akan bacakan puisi saya berjudul :
MEREKA BERBARING DALAM KENANGAN
D Kemalawati
Kutinggalkan Simpang Jam, taman Putro Phang,
Darul Isky dan Kandang sunyi
Kumasuki jalan Sultan Iskandar Muda
di sebelah kiri jalan replika kapal terdampar
mengajakku ke dalam
dari cerobong menjulang kutemukan kubah bawang
kulihat lidah api menyala-nyala, disana
wanita dari lampadang menerobos barisan
“Lihat sendiri” pekiknya.
”rumah Allah dibakar, sampai kapan kita menjadi budak Belanda”
Langit memerah , kubah menyala darah
Orang-orang datang seperti gelombang
Garang telah bersarang siap menyerang
Takbir menjadi genderang
syair prang sabil menjadi pedang
Di sana Kohler bukan ditikam
Timah panas mendekam di badan
Lelaki tanpa nama menembak dari belakang
lalu melangkah ke selatan
dari atas sana, tataplah ke depan
Meurah Pupok sendirian di sudut taman
Kerkhoff Peucut disanding di dinding depan
nisan menjulang dua ribu dua ratus hitungan
dari jenderal berbintang hingga prajurit tawanan
berbaring tenang namanya dikenang
dari pesawat Seulawah RI 001 di Blang Padang
kulihat Teungku Daud Beureueh berjalan terpuruk
di belakangnya nyala api tak pernah padam
di tiang pancang di sebuah ruang sang proklamator tersedu sedan
di depan para saudagar hidangan tak tersentuh tangan
dalam remang cahaya bulan
diantara cemerlang bintang
Abu berujar tenang, emas berbungkal jadikan uang
Dakota terbang terbangkan seluruh angan
di Meuraksa, adakah yang paling hitam dari daulat alam
maka jangan tanya tubuh siapa terkubur paling dalam
nama siapa tertulis paling depan
nisan siapa dipajang paling panjang
maka kukatakan padamu wahai wanita dari Lampadang
mereka lah yang berbaring dalam kenangan
Banda Aceh, 10-01-2011
Bagi saya, selaku penulis dan pembaca puisi acara Grand Launching ini menjadi pengakuan bahwa puisi telah menjadi alat komunikasi yang baik dan dapat diterima oleh semua kalangan. Setelah saya membacakan puisi, T januarsyah selaku tokoh teater juga membacakan puisi yang isinya berbicara masalah tsunami, kuburan massal dan kebangkitan setelah bencana serta damai yang dirasa. Nova Eliza juga membacakan puisi tentang pesona pantai Ulee Lheue sore hari. Yusuf Bombang dalam sastra tutur berbahasa Aceh juga sangat menarik mengajak warga untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Aceh dengan ramah dan santun. Syeh lah Genta, syeh Seudati (tarian tradisional Aceh) dengan liukan yang gemulai sambil bersyair membangkitkan semangat juga mengajak menjaga damai di negeri Serambi. Terakhir ala Raihan, Mujiburrahman melantunkan syair merdu mengajak warga untuk bersyukur terhadap anugerah Allah dan menjaga damai di muka bumi.
Puisi-puisi berbahasa Gayo juga didendangkan dengan sangat indah oleh ibu Hidayah Ara saat mengiringi tarian Guel dari kumunitas Negeri Antara. Puncaknya, menjelang penabuhan rapai yang menandakan Grand Launching Visit Banda Aceh Year 2011, Walikota Mawardi Nurdin dan Wakil Walikota Illiza Saaddudin Djamal saling berbalas puisi yang isinya menyatakan tahun 2011 Banda Aceh siap menjadi kota kunjungan wisata. Dengan didampingi artis Teuku Wisnu, Nova Eliza dan pejabat lainnya, Walikota Banda Aceh akhirnya menabuh rapai tanda dimulainya kota Banda Aceh sebagai kota kunjungan wisata. Minggu malam 29 Januari 2011 mencatat dirinya sebagai malam yang penuh puisi dan kenangan indah bagi warga kota Banda Aceh
Tentu bukan hal aneh dan baru bagi wakil Walikota Banda Aceh untuk membaca puisi. Di setiap acara baik ketika membuka lomba baca puisi, peluncuran buku atau acara seni lainnya Hajjah Illiza selalu didaulat membaca puisi. Bahkan dalam kesibukannya selaku orang nomor dua di pemerintahan kota Banda Aceh, beliau menyempatkan diri menjadi bintang tamu dalam pementasan teater ‘Tanah Perempuan’ karya Helvi Tiana Rossa bersama Bengkel Sastra UNJ di Gedung Kesenian Jakarta, Nov 2009 lalu dan di aula RRI Banda Aceh pada Desember 2009. Tanah Perempuan merupakan naskah drama yang menceritakan tentang seorang perempuan guru yang bernama Safiah Cut Kemala yang berusaha bunuh diri setelah mendapatkan dirinya berada dalam puing reruntuhan tsunami. Safiah Cut Kemala merasa hidupnya hancur seperti negerinya yang berantakan akibat gulungan ombak laut. Ia kehilangan anak lelaki satu-satunya dan ibunya yang hilang ingatan setelah ayahnya ditembak di halaman rumah mereka. Mala juga kehilangan suaminya yang juga seorang guru ketika malam-malam harus menjemput dokter untuk mengobati ibunya yang sakit. Kemala yang kalut mendapatkan pecahan kaca tak jauh dari tempat ia terbaring. Dalam pertarungan antara bunuh diri dan bertahan hidup, Safiah Cut Kemala pingsan. Diambang sadar muncullah tokoh pahlawan perempuan Aceh masa lalu seperti Laksamana Keumalahayati, Sulthanah Safiatuddin, Peucut Meurah Intan, Pocut Baren, Cut Nyak Dien, Cut Mutia memberi semangat kepada perempuan Kemala. Naskah drama kepahlawan perempuan Aceh yang ditulis oleh perempuan penulis berdarah Aceh Helvi Tiana Rosa ini telah diterbitkan Lapena Banda Aceh, 2007. Dalam pementasan di Jakarta, Illiza berperan sebagai Sulthanah Safiatuddin, Oki Setiana Dewi artis pemeran Ana di film Ketika cinta bertasbih berperan sebagai Pocut Meurah Intan, sedang kan saya oleh mas Edi Sutarto dan Helvi Tiana Rosa yang menjadi motor penggerak bengkel sastra UNJ diberikan peran sebagai Laksamana Keumalahayati. Demikianlah, Illiza selaku wakil Walikota Banda Aceh tampil memukau membalas puisi walikota Banda Aceh Mawardi Nurdin di malam bertabur puisi.
Malam menjadi sangat singkat ketika melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Saya sudah bertekad untuk tetap hadir pada acara launching buku Tsunami Kopi di Apa Kaoy. Yang penting hadir. Demikian saya menggandeng bang Helmi meninggal arena Grand Launching. Berjalan kaki, kami menyusuri ujung jalan Abu Lam U masuk ke jalan Muhammad Jam. Di sisi kiri jalan, tiang panjang di bekas hotel Atjeh membisu ditiup angin malam. Mesjid Baiturrahman di sisi kanan diterpa lampu kelihatan sangat indah. Saya tidak berhenti menikmati keindahannya. Saya benar-benar meninggalkan arena Grand Launching meski masih mendengar sayup-sayup suara rapai ditabuh oleh 200 penari Rapai Geleng di hadapan para pejabat dan warga kota yang masih berduyun memasuki arena. Tsunami Kopi sedang memanggil di Lampaseh sana.
Di Apa Kaoy, acara bedah buku masih berlangsung. Di atas panggung yang sederhana para pembicara, Fauzan Santa, Iskandar Norman, Nuril Annisa dan seorang gadis manis berjilbab sebagai moderator sedang menyimak pertanyaan atau mungkin pernyataan dari seseorang yang duduk paling depan dari barisan pengunjung. Suara beratnya sangat saya kenali. Beliau adalah Mukhlis A Hamid, seorang dosen yang sangat akrab dengan para seniman apalagi para pemula dan mahasiswa. Sesungguhnya beliau adalah juga seorang seniman dan duduk sebagai wakil ketua di Dewan Kesenian Banda Aceh. Ada banyak wajah-wajah bahagia terlihat disana. Abdul Razak Pulo, seorang dokter yang puisi-puisinya luar biasa dan sangat produktif langsung berdiri menyalami saya dan bang Helmi. Saya baru tahu bahwa penerbit Diwana yang menerbitkan buku antologi puisi Tsunami Kopi dinakhodai oleh Abdul razak Pulo.
Membuka lembar kedua dari buku Tsunami Kopi, terbaca nama-nama yang sangat akrab dengan saya. Adik-adik yang sangat kreatif. Para penulis Abdul Razak M. H. Pulo, dkk. Editor Herman RN. Desain sampul Akmal M. Roem. Gambar sampul Idrus Bin Harun. semua terbaca disana. Mereka, penyair masa kini dan masa depan Aceh yang karya-karyanya telah menghiasi media masa baik cetak maupun online, juga di laman fesbuk. Fauzan Santa yang sama-sama saya menjadi host pada acara ‘Ekpresi Seniman’ di TVRI Aceh menulis pengantar buku dengan judul Pengantar Minum Tsunami menulis pada halaman (vi) sebagai berikut:
Kumpulan puisi “Tsunami Kopi” ini memberi khabar bahwa pilihan-pilihan pola ungkap dalam puisi mutakhir di Aceh adalah proses belajar terus- menerus berkait kelindan dengan sejarah sastra nusantara. Harapan kuat juga sebab usia penulis ini masih rata-rata cukup kadar energy untuk mempertimbangkan berpuluh ratus ribu puisi dunia bagi perjumpaan tekstual dengan sejarah (puisi baru) Aceh yang baru lahir 5 tahun silam selepas ombak, belum menanjak di atas 30 tahunan, sejak mereka mulai aktif menulis.
Ya, mereka memang masih sangat muda. Di halaman daftar isi saya temukan nama-nama penyair muda itu sesuai abjad yaitu, Abdul Razak Pulo, Ahmed abduh, Akmal M. Roem, Anugerah Roby Syahputra, Azmi Labohaji, bahagia Arbi, Decky R. Risakotta, Herman RN, Idrus Bin Harun,Jojo Jalang, Muhadzier M. salda, Muhajir Pamulung, Nuril Annisa, Nurlina el. Hafiz, Putty Wlandari, Razlina Riechardt, Reza Mustafa, Reza Rahmi, Sammy Kahlifa, Teuku Rinaldi, Zulfikar Akbar. Selain puis-puisi mereka saya yakin sangat menarik adalah konsistennya editor dalam memilih dan menetapkan 3 puisi untuk semua penyair. Kadang di antologi bersama sering sekali kita temui, puisi seorang penyair bisa berjumlah lima puisi tapi ada penyair lainnya yang hanya dua puisi saja yang dimuat. Selamat untuk penerbit Diwana, selamat bagi penyair Aceh yang terus berkarya dan menyadari perlunya mendokumentasikan karya. Karena malam makin larut, saya ingin beristirahat dengan bahagia. Bersama Fauzan santa yang akan singgah kembali ke Hermes Palace, bang Helmi dan saya meluncur meninggalkan Keude kopi Apa Kaoy. Puisi… puisi, ternyata bukan rumah tanpa penghuni.
Banda Aceh, 31 Januari 2011
BAGUSSSS BANGET......
BalasHapus