D Kemalawati
dalam tubuh bahasamu
kau rayakan kemerdekaan
tentang siapa yang kau cincang
dan kaumuliakan
dengan tangan bahasamu
kau gerakkan peradaban
mencincang perca-perca perundangan
mengelap kaca kemunafikan
sejarah hanya bahasa yang dikembangkan nenek moyang
kau berdiri di garda depan tetap sebagai bayang-bayang
ada patahan tertinggal di perjalanan yang tak tersusul kemudian
kemenangan tak selamanya keutuhan
pengembaraan kata dalam kalimat telah menuju belantara liar
dengan dada busung kau seru ; ini bahasaku!
apa bahasamu?
Banda Aceh, 19 April 2015
Rumoh Sastra D Keumalawati
Header
Selasa, 21 April 2015
Perempuan Perempuan
D Kemalawati
seorang perempuan muda bersepeda tua
lusuh pakaiannya, tatapnya iba
saya mencari kerja kemana-mana
tak ada yang menerima janda beranak tiga
bekerja setengah hari saja
bila seluruh hari dipakai bekerja
anak-anak sama siapa
mereka balita, keluhnya
ditatapnya tanah basah
matanya lelah
pagi, daun-daun gugur di halaman
pemilik rumah terpekur diam
tak ada uang di dalam meski rumahnya lapang
beras beberapa muk juga boleh, ibu
suara itu seperti tertelan waktu
mendengung dalam kresek hitam pekat
menyimpul dalam perih nasib
perempuan bersepeda bermata iba
menuturkan doa-doa dengan hampa
perempuan di halaman melihat ke diri
masih bisa berbagi meski sunyi rezeki
pagi berjalan sendiri
daun-daun kering bertebaran
perempuan-perempuan menyapu ingatan
menyapu impian
Banda Aceh, 18 April 2015
seorang perempuan muda bersepeda tua
lusuh pakaiannya, tatapnya iba
saya mencari kerja kemana-mana
tak ada yang menerima janda beranak tiga
bekerja setengah hari saja
bila seluruh hari dipakai bekerja
anak-anak sama siapa
mereka balita, keluhnya
ditatapnya tanah basah
matanya lelah
pagi, daun-daun gugur di halaman
pemilik rumah terpekur diam
tak ada uang di dalam meski rumahnya lapang
beras beberapa muk juga boleh, ibu
suara itu seperti tertelan waktu
mendengung dalam kresek hitam pekat
menyimpul dalam perih nasib
perempuan bersepeda bermata iba
menuturkan doa-doa dengan hampa
perempuan di halaman melihat ke diri
masih bisa berbagi meski sunyi rezeki
pagi berjalan sendiri
daun-daun kering bertebaran
perempuan-perempuan menyapu ingatan
menyapu impian
Banda Aceh, 18 April 2015
Sabtu, 18 April 2015
Sedekah
D Kemalawati
Tak ada yang lebih aku utamakan setelah selesai menyiapkan sarapan pagi selain segera membuka pintu depan, mengambil sapu lidi dan mulai menyisir daun-daun kuning yang ringan dan kering. Meski kerimbunan pohon seri membuat halamanku teduh, tak ayal bila tak ada waktu menyapu halaman rasa kesal atas keberadaan pohon seri itu membuncah juga di dada. Bagaimana pun penyumbang besar sampah di drpan rumah kami adalah daun seri sedangkan pohon mangga yang buahnya selalu menggantung indah menjuntai hanya menyumbang beberapa daun luruh, yang kadang cukup dipungut beberapa saat tanpa harus menggunakan sapu lidi.
Pagi kemarin agak terlambat aku ke halaman. Terlalu banyak waktu yang kugunakan di meja makan bersama adik iparku. Dia sedang bermasalah dengan suaminya. Meski aku tak berminat diberitahu lebih banyak apa yang dalami dan dirasakannya, tapi untuk mengabaikan dia tentu tak akan kulakukan. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik, meski pikiranku tak bersamanya.
Keterlambatan ke halaman akan membuat urutan kerjaku kacau. Waktu dhuhaku pasti bergeser dan itu membuaku tak nyaman. Tapi bagaimana pun aku selalu berusaha berdamai dengan jadwalku sendiri. Aku tetap harus menyapu halaman meski matahari sudah meninggi. Udara pagi selepas hujan begitu segar. Daun-daun berwarna hijau cerah. Tanah basah membuat nyaman mengayun gagang sapu. Aku tak khawatir debu berterbangan membuat mata perih. Tak ada suara lain kecuali derak sapu yang menyatukan daun-daun. Sesekali beo tetangga mengucap salam" salamualaikum... nek.. nenek
Tak ada yang lebih aku utamakan setelah selesai menyiapkan sarapan pagi selain segera membuka pintu depan, mengambil sapu lidi dan mulai menyisir daun-daun kuning yang ringan dan kering. Meski kerimbunan pohon seri membuat halamanku teduh, tak ayal bila tak ada waktu menyapu halaman rasa kesal atas keberadaan pohon seri itu membuncah juga di dada. Bagaimana pun penyumbang besar sampah di drpan rumah kami adalah daun seri sedangkan pohon mangga yang buahnya selalu menggantung indah menjuntai hanya menyumbang beberapa daun luruh, yang kadang cukup dipungut beberapa saat tanpa harus menggunakan sapu lidi.
Pagi kemarin agak terlambat aku ke halaman. Terlalu banyak waktu yang kugunakan di meja makan bersama adik iparku. Dia sedang bermasalah dengan suaminya. Meski aku tak berminat diberitahu lebih banyak apa yang dalami dan dirasakannya, tapi untuk mengabaikan dia tentu tak akan kulakukan. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik, meski pikiranku tak bersamanya.
Keterlambatan ke halaman akan membuat urutan kerjaku kacau. Waktu dhuhaku pasti bergeser dan itu membuaku tak nyaman. Tapi bagaimana pun aku selalu berusaha berdamai dengan jadwalku sendiri. Aku tetap harus menyapu halaman meski matahari sudah meninggi. Udara pagi selepas hujan begitu segar. Daun-daun berwarna hijau cerah. Tanah basah membuat nyaman mengayun gagang sapu. Aku tak khawatir debu berterbangan membuat mata perih. Tak ada suara lain kecuali derak sapu yang menyatukan daun-daun. Sesekali beo tetangga mengucap salam" salamualaikum... nek.. nenek
Kamis, 16 April 2015
Tubuh Ini
D Kemalawati
Kalau kau hirau
seperti tanah sebelum laut
mata air di dalamnya
menuju kuala yang asin
Menjalar dari cadas
menuju puncak hingga lahar
letupan daun-daun abu
antara angan dan angin
tubuh ini menua
hancur
Dan waktu
memahat kerutan
pada dinding hayat kita
Kau tahu tentang kaki busur pelangi
ia lah yang menusuk bumi
dan tubuh ini lindap bersama sisa
hujan terakhir
sirna seperti kaki pelangi
Percayakah kau bahwa tubuh ini tak berguna
cobalah mencandainya semusim saja
kau akan berkata: tak perlu setia pada musim
tubuh ini adalah tanah
dimana sujud kita bertambah tambah
Banda Aceh, 16-17 April 2015
Kalau kau hirau
seperti tanah sebelum laut
mata air di dalamnya
menuju kuala yang asin
Menjalar dari cadas
menuju puncak hingga lahar
letupan daun-daun abu
antara angan dan angin
tubuh ini menua
hancur
Dan waktu
memahat kerutan
pada dinding hayat kita
Kau tahu tentang kaki busur pelangi
ia lah yang menusuk bumi
dan tubuh ini lindap bersama sisa
hujan terakhir
sirna seperti kaki pelangi
Percayakah kau bahwa tubuh ini tak berguna
cobalah mencandainya semusim saja
kau akan berkata: tak perlu setia pada musim
tubuh ini adalah tanah
dimana sujud kita bertambah tambah
Banda Aceh, 16-17 April 2015
Rabu, 15 April 2015
Kesetiaan
D Kemalawati
Mengukur kesetiaan
detak jarum jam patokan
bukan subuh dengan kokok ayam
kisah Roro Jongrang
Kesetiaan adalah mata rencong
ketuaan dan rabun senja
hanya frasa
Cut Nyak Dien menepis asa
Siapa mencari cinta
mencintai kesetiaan
Banda Aceh, 15 April 2015
Mengukur kesetiaan
detak jarum jam patokan
bukan subuh dengan kokok ayam
kisah Roro Jongrang
Kesetiaan adalah mata rencong
ketuaan dan rabun senja
hanya frasa
Cut Nyak Dien menepis asa
Siapa mencari cinta
mencintai kesetiaan
Banda Aceh, 15 April 2015
Selasa, 14 April 2015
Dalam Takdir
D Kemalawati
Seperti mengenal cuaca
Hanya payung dan sepatu
Bergeming di depan pintu
Berjalan di atas takdir
Antara duri dan permadani
mari menari sambil meneguk mimpi
Langit mengirim suara perihnya
lewat syair, aku menulis di atas pematang
sederas hujan tentangmu yang diam
Masihkah mencari jalan lain
Pintu-pintu tak lagi terkunci
di puncak tinggi
Banda Aceh, 14 April 2015
Seperti mengenal cuaca
Hanya payung dan sepatu
Bergeming di depan pintu
Berjalan di atas takdir
Antara duri dan permadani
mari menari sambil meneguk mimpi
Langit mengirim suara perihnya
lewat syair, aku menulis di atas pematang
sederas hujan tentangmu yang diam
Masihkah mencari jalan lain
Pintu-pintu tak lagi terkunci
di puncak tinggi
Banda Aceh, 14 April 2015
Senin, 13 April 2015
SEBUAH PERAHU
DAN SEORANG NELAYAN DI TENGAH LAUT TAWAR
D Kemalawati
Hanya itu yang kutemukan saat menyibak tirai kehidupan
terlintas pertanyaan kenapa berperang
jika tak ada yang diperebutkan
lihat betapa maha luasnya danau ini
hanya sebuah perahu dan seorang nelayan
ditemani desir angin
dan kicau burung dikejauhan
berlaksa ikan berenang riang diantara riak yang tenang
sama sekali tak ada keriuhan,
saling menyerang,
berharap pemenang
betapa bahagianya menjadi nelayan
di tengah danau kehidupan
melempar jala sendirian
menyaksikan kabut menipis pelan-pelan
remang pagi mengantar terang
menjemput harapan
kenapa ada perang dalam pikiran
memanjang-manjangkan penderitaan
hidup hanya pilihan
berdesak-desakan di kehampaan
atau sendiri di tengah danau kehidupan
dengan kepastian
Renggali Laut Tawar, 1 juli 2013
TUNTUN AKU YA RABB
D Kemalawati
Entah sampai hitungan keberapa
kaki ini masih melangkah
Di atas taburan bunga dan serpihan kaca
Duhai Rabb, aku mencium wangiMu
dalam sunyi jalan menuju
harap cemasku
akankah Kau rangkul aku
bila bertemu
Duhai Rabb,
Izinkan aku menjadi kekasihMu
Tuntun langkahku
hingga berhenti dalam pangkuanMu
Banda Aceh, 2 April 2014
D Kemalawati
Entah sampai hitungan keberapa
kaki ini masih melangkah
Di atas taburan bunga dan serpihan kaca
Duhai Rabb, aku mencium wangiMu
dalam sunyi jalan menuju
harap cemasku
akankah Kau rangkul aku
bila bertemu
Duhai Rabb,
Izinkan aku menjadi kekasihMu
Tuntun langkahku
hingga berhenti dalam pangkuanMu
Banda Aceh, 2 April 2014
BATEELOEN
(Doel CP Allisah)
D Kemalawati
Kau asah batu-batu itu
dengan kegigihan
Hingga berkilau
lalu sajak dan senyummu
kau simpan di sana
Dalam embun
Bateeloen.
D Kemalawati
Kau asah batu-batu itu
dengan kegigihan
Hingga berkilau
lalu sajak dan senyummu
kau simpan di sana
Dalam embun
Bateeloen.
Tentang hidup membatu
Kau tulis dalam sajakmu
Seperti gurat warna warni
Mengambang indah dalam safir
Bateeloen
Setelah tiada
Entah siapa mengasah batu
Mewarisi gigihmu
Menerjemahkan garis pelukis
Yang tak terjamah penyair
Dalam bateeloen
Banda Aceh, 2 April 2014
* Bateeloen : bahasa Aceh, artinya batu saya
Langganan:
Postingan (Atom)